Ngopi Neng Warung

THREE FILTERS OF SOCRATES

*THREE FILTERS OF SOCRATES*

Komaruddin Hidayat, Yayasan Pendidikan Madania Indonesia

     Menyeruaknya hoax dan ujaran kebencian, terutama lewat medsos, saya jadi ingat nasehat Socrates, 470 - 399 SM, bagaimana kiatnya untuk menepis berbagai berita dan ujaran kebencian yang hanya akan merusak kerukunan dan kedamaian sosial, yang dikenal dengan sebutan tiga filters Socrates. Dia merumuskan filters ini setelah mengamati masyarakat Yunani kuno ketika mereka terlibat dalam persaingan perebutan pengaruh politik, mirip suasana batin masyarakat Indonesia yang tengah menghadapi pilkada dan pemilu.
     Nasehat Socrates, kalau ada orang datang membawa berita kepadamu, pertanyaan pertama yang mesti dimajukan adalah; Apakah berita yang kamu sampaikan itu sebuah kenyataan yang benar, ataukah fiktif alias bohong. Mungkin sekali seseorang akan menjawab bahwa berita itu  benar adanya. Bahkan disertai data dan fakta. Ini bukan mengada-ada.
       Kalaupun yang disampaikan itu sebuah fakta, bukan hoax, Socrates masih memberi saran untuk bertanya:  Andaikan aku tahu isi berita itu, kebaikan apa yang akan aku peroleh darinya? Jika tak ada kebaikan, sebaliknya, malah menambah beban dan bahkan menimbulkan keburukan  pada diriku, maka tak perlu kita terima tawaran  berita itu.
      Tidak semua peristiwa dan fakta yang terjadi pada orang lain mesti kita ketahui karena adakalanya dengan mengetahui malah berakibat buruk dan merusak persahabatan.  Berita itu bisa meracuni pikiran dan perasaan.
    Namun bisa saja sebuah berita oleh yang menyampaikan dinilai benar dan baik. Bagi Socrates masih harus difilter lagi dengan pertanyaan: Berita itu akan membawa manfaat apa bagi saya dan  masyarakat luas andaikan saya dan masyarakat mengetahui?
     . Jadi, untuk menjaga hati dan pikiran agar tidak  kotor dan terkena penyakit yang datang dari sembarang informasi yang berseliweran, atau bahkan sekarang ini bagaikan virus wabah yang menyerang kita, maka kita disarankan selalu memasang tiga filter tadi. Sebelum kita buka mata, telinga dan jendela pikiran, kita tanya dulu, apakah isi berita itu, faktual, apakah memberi nilai tambah berupa pengetahuan yang baik. Lebih dari itu, apakah isi berita itu mendatangkan manfaat?
     Nasehat Socrates itu secara moral sangat sejalan dengan ajaran agama yg kita pelajari dan yakini. Namun jika diperhadapkan dengan praktek dalam panggung politik dan bisnis yang terjadi jangan2 sebaliknya. Kebohongan telah menjadi lahan bisnis baru.
       Pada zaman Socrates dulu kebohongan dan ujaran kebencian disampaikan secara lisan dan jangkauan penyebarannya sangat terbatas. Tetapi hari ini dengan medsos yang berbasis internet, kebohongan, ujaran kebencian dan fitnah bisa disebarkan dengan sangat mudah, cepat dan luas.
      Ironisnya, ada orang2 yg senang dengan berita2 sensasional, tidak difilter dan tidak peduli apakah berita itu benar, baik, dan berguna. Yang demikian ini merebak karena dalam dirinya dikuasai oleh nafsu dan cara berpikir kalah-menang menurut emosi dan kepentingan dirinya, bukan melihat orang lain dalam tataran yg sama sebagai sesama manusia dan hamba Tuhan yg mesti dihargai martabatnya demi kebaikan bersama.
     Dalam istilah Alqur'an, orang yang bergosip menjelekkan teman itu diibaratkan sebagai "pemakan bangkai" (Alhujurat 12). Lebih  pedas dari nasehat Socrates.
     Mengapa ibarat  pemakan bangkai? Karena orang yang kita bicarakan kejelekannya tidak hadir, tidak mendengar dan tidak bisa membela diri, tak ubahnya binatang mati, tak  berdaya diperlakukan semena-mena.Lalu bangkai itu kita nikmati, kita asyik bergosip tentang orang itu. Pada hal perbuatan itu sangat menjijikkan dan kita benci kalau saja kita sadari. Begitu kata Alqur'an.
       Untuk mencintai nilai2 kejujuran dan kebaikan itu memerlukan latihan dan pembiasaan yg dimulai dan dikondisikan sejak masa kanak2 terutama dalam lingkungan keluarga. Ini mirip dengan agar anak2 cinta kebersihan. Anak2 yg dari kecil oleh orangtuanya ditanamkan cinta kebersihan dan kekeraturan, maka dia akan merasa risih ketika melihat lingkungan kotor. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Jepang. Sulit menemukan sampah di sudut2 kota dan di lorong jalan. Orang di Jepang terbiasa mengantongi bungkus roti atau kulit pisang, baru dibuang kalau ketemu tempat sampah.
      Mestinya mata, telinga dan pikiran kita juga kita pagari sebagai filter, jangan sembarang berita masuk ke folder dan cawan memory kita. Mesti selektif membaca berita yang sering menyergap handphone kita. Kalau terasa tidak sehat, ibarat makanan, segera kita delete. Jangan malah disebarkan. Begitupun membuka saluran TV, ingat dengan tiga filter Socrates. Jika progran yang disajikan tidak baik dan tidak mendatangkan manfaat, tak usah ditonton.
      Sekedar berbagi pengalaman, dg berat hati kadang saya keluar dari bbrpa WAG (WA Group) karena isi dan berita yg beredar seringkali berisi ujaran kebencian yg merusak keharmonisan dalan persahabatan. Ini saya amati terjadi sejak Pilkada DKI yang masih berbuntut sampai hari ini. Pikiran konstruktif tetap diperlukan, namun mesti kita filter agar tidak mengotori dan membuat karat pada hati dan pikiran.

No comments:

Post a Comment