Ngopi Neng Warung

Belajar Jadi Manusia dari Ibnu Khaldun

Belajar Jadi Manusia Dari Ibnu Khaldun


DALAM al-Muqaddimah, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa diantara hal-hal yang menyebabkan seseorang itu berpikir tidak adil adalah partisanship. Partisanship ini melahirkan sikap prejudice dan memihak. Apa pun dikatakan oleh pihak yang didukungnya akan dibenarkan, dibela, dicari-cari alasan pembenarannya.
Kedua adalah reliance upon transmittersReliance upon transmitters (atau percaya 100% jika yang menyampaikan adalah tokoh-tokoh tertentu) adalah tindakan ceroboh yang menempatkan seseorang selevel dengan Nabi SAW atau keluarganya—padahal untuk mempercayai Nabi SAW. dan keluarganya pun jalur periwayatannya pun tidak mudah.
Ketiga adalah tidak mengerti signifikansi pemikiran daritransmitter. Banyak orang yang asal mengambil pemikiran dari idolanya berdasarkan sisi-sisi kepentingannya dan kelompoknya saja.
Keempat adalah unfounded assumption as the truth af a thing(asumsi tak beralasan terhadap kebenaran sesuatu). Ini sangat berbahaya, karena orang-orang yang asal percaya atas kebenaran sesuatu tanpa founded ussumption akan dibutakan oleh asumsi itu saja; mereka tak melakukan dialektika lagi untuk mempertanyakan kebenaran asumsi itu. Misalnya, tak bisa kita hanya berhenti pada kabar bahwa Nabi SAW berakhlak mulia saja, tanpa mengetahui bukti-bukti selanjutnya: bahwa fitnah tentang Nabi SAW memiliki banyak selingkuhan tidak benar berdsarkan riwayat-riwayat yang shahih bahwa mereka semua telah dinikahi oleh Nabi SAW (bahkan malah belum pernah disentuh, dan seterusnya.
Menarik mengikuti cara berpikir Ibnu Khaldun mengkritisi riwayat-riwayat dari para mufassir seperti al-Thabari, al-Tha’alibi, dan al-Zamakhsyari dalam menafsirkan frasa dalam surah al-Fajr yang berbunyi Irama daatil imaad. Para mufassir itu menafsirkan bahwa Aad bin Ush bin Iram memiliki anak bernama Syadid dan Syaddad. Setelah Syadid mati, Syaddad menggantikannya menjadi raja Iram. Dia membangun sebuah kota yang bangunan-bangunannya terbuat dari emas, dan tiang-tiangnya terbuat dari yaqut dan zamrud.
Ibnu Khaldun mengkritisinya, bahwa tidak jika kota Iram—yang digambarkan dengan bangunan-bangunan oleh para mufassir itu benar adanya—seharusnya dia berada di Eden di Yaman, maka seharusnya bekas kota-kota itu masih ada; nyatanya tidak ada sisa-sisanya sedikit pun. Apalagi jika kota Iram itu dinyatakan berada di kota Damaskus, maka keberadaannya malah jadi tidak ilmiah, karena dikatakan bahwa kota ini hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang memiliki indra khusus.
Ibnu Khaldun juga banyak mengkritisi informasi-informasi dari sejarawan seperti al-Mas’udi, al-Bakri, dan yang lainnya. Entah itu jumlah pasukan Bani Israil yang diturunkan di gurun Tiih yang berjumlah 600 ribu pasukan—yang jelas bertentangan dengan fakta bahwa dia hanyalah kerajaan kecil dibandingkan dengan bangsa Farsi yang sangat besar, yang hanya mampu menurunkan 200 ribu pasukan plus para pembantunya dalam perang al-Qadisiya; atau informasi dari al-Mas’udi bahwa saat membangun kota Iskandariyah, Iskandar Agung suka diganggu oleh jin-jin laut. Kemudian Iskandar Agung lalu membuat kotak yang terbuat dari kaca agar bisa menyelam ke dasar lautan. Dia melakukan itu untuk melukis wajah dan bentuk-bentuk dari makhluk di lautan itu. Setelah itu, Iskandar Agung membuat patung-patung yang sama seperti gambar itu. Saat makhluk-makhluk laut itu naik ke daratan, mereka lari tunggang langgang karena melihat bentuk-bentuk mereka. Menurut Ibnu Khaldun, informasi ini jelas tidak benar, karena tidak logis seseorang bisa bertahan lama di kotak kaca, apalagi dilakukannya di dasar lautan.
Menurut saya, jika ada informasi, Anda harus bertanya-tanya mengenai banyak hal mengenai informasi itu: dari tahap ontology sampai tahap epistemology dan aksiologi. Pertanyaan seperti “ini apa” (ontology) saja melibatkan banyak pertanyaan, apalagi jika menapaki tahap epistemology yang bertanya tentang “bagaimana”, pasti akan melibatkan banyak pertanyaan—karena secara logika ini akan melibatkan analogy, silogisme, premis mayor, dan premis minor. Dan asal Anda tahu bahwa semua pertanyaan itu membutuhkan kemurnian dan pengetahuan juga. Anak-anak yang bertanya tentang ontology tidak akan sampai ke tahap epistemology sebelum mendapatkan jawaban-jawaban yang memuaskan hatinya. Dari sanalah anak-anak mendapatkan affirmasi untuk melangkah ke aksiologi yaitu untuk apa sesuatu itu ada, dan dengan demikian mereka dapat memasukkan sesuatu itu kedalam kesadarannya bahwa sesuatu itu adalah hal yang baik atau buruk; dilakukan atau ditinggalkan.
Lebih dari itu, level aksiologi membuat seseorang berdiri pada posisi sebagai orang yang menguasai hal tersebut. Jika yang dipertanyakan adalah informasi mengenai dzurriyyah Rasul, maka pada tahap aksiologi seseorang telah menguasai informasi-informasi mengenainya dengan sangat baik. Berbeda dengan orang yang hanya mengerti informasi aksiologi tahap “apa” saja, maka dia hanya mengerti informasi permukaan, tak mau mengerti dan tak mau mendengar informasi-informasi apa pun mengenai dzurriyyah Rasul.

Demikianlah seharusnya manusia melewati tahap-tahap berpikir agar tidak terjebak dalam kejumudan, kebodohan, kesotoyan, kesombongan, dan lebih-lebih takfirisme.

No comments:

Post a Comment