Ngopi Neng Warung

NU, Bertahan dari Sukarno ke Soeharto

NU, Bertahan dari Sukarno ke Soeharto

Politik Praktis

Kiprah NU dan kadernya dalam semesta politik praktis di Indonesia bukan hal yang baru. Menteri Agama pertama sejak Indonesia merdeka adalah Wahid Hasyim. Dia merupakan putra KH Hasyim Asyari.

Syahdan, NU semakin intens dalam politik praktik di Indonesia setelah Muktamar NU di Palembang. Dalam muktamar yang berlangsung pada 1952 itu mereka memutuskan menjadi partai politik. Perolehan suara partai ini pun lumayan. 

NU vis-à-vis Negara
 (1999) yang disusun Andree Feillard menyebut partai NU mendapat 18,4 persen suara pada Pemilu 1955. Angka itu menjadikan partai NU bercokol di urutan ketiga setelah PNI dan Masyumi.

NU juga tidak bergeming kala situasi politik Indonesiaguncang akibat peristiwa G30S serta pembunuhan massal yang berlangsung setelahnya. Pada Pemilu 1971, Partai NU mendapat 18,7 persen suara, angka yang tidak jauh berbeda dengan yang didapatkan pada Pemilu 1955. Hasil itu menempatkan NU sebagai partai dengan perolehan suara terbesar kedua, persis setelah Golkar (62,8 persen).

Namun, pemerintahan Soeharto punya cara lain untuk menekan partai politik, termasuk NU. Salah satu caranya dengan menyederhanakan partai-partai politik menjadi dua kelompok: golongan spiritual dan golongan nasionalis.

Hal itu terwujud pada 1973. Saat itu, NU bersama tiga partai golongan spiritual lainnya – Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Pergerakan Tarbiyah Islam (Perti) – berfusi dalam satu partai yakni PPP. Lima tahun berikutnya, pada Pemilu 1977, PPP mendapat 29,2 persen suara nasional.

“Jumlah ketua wilayah PPP hampir rata-rata berasal dari unsur NU,” sebut Fachri Ali dan Iqbal Abdurrauf Saimima dalam makalah “Merosotnya Aliran Dalam Partai Persatuan Pembangunan” di Majalah Prisma (edisi Desember 1981) seraya menegaskan peran penting NU di PPP.

Namun kebersamaan itu tidak abadi. Sebelas tahun setelah berfusi dengan PPP, Muktamar NU pada 1984 di Situbondo memutuskan NU keluar dari partai berlambang Ka'bah. Tidak hanya itu, NU juga menyatakan diri tidak lagi menjadi partai politik dan meninggalkan ajang politik praktis. Keputusan itu dikenal dengan sebutan "Kembali ke Khittah 1926".

No comments:

Post a Comment