Ngopi Neng Warung

NU, Islam Modern dan Kontekstual

Dahulu muhammadiyah dikenal sebagai organisasi (gerakan) Islam yang lebih modern ketimbang NU yang disebut2 organisasi Islam Tradisional. Ini sering dijadikan premis yang [kadangkala] dimanfaatkan oleh teman2 Muhammadiyah untuk memperlihatkan bahwa kelompoknya lebih baik (baca : lebih maju/modern). Kenapa ? Karena Muhammadiyah merasa lebih menggunakan pemahaman terbaru dalam hal pemikiran keagamaan [Islam] yang tidak condong ke mazhab tertentu (Entah kenapa sikap netral ini dahulu menjadi dianggap pilihan orang2 modern) dan lebih membuka pintu ijtihad (peran akal) di dalam fatwa2 keagamaannya. Lalu NU, kesan dominasi para Kiai (teokrat ?) dan optimalnya penggunaan kitab kuning (warisan ulama masa lalu) membuat kelompok ini wajar dimasukkan ke kelompok tradisional waktu itu.

Lalu apakah dikotomi seperti ini sekarang masih relavan ?

Ketika istilah Islam kontekstual diperkenalkan, dikotomi seperti ini mulai mencair. Fakta dan sejumlah kajian justru memperlihatkan bahwa Islam model NU jauh lebih kontekstual dibanding Islam model Muhammadiyah, yang justru bisa saja disebut lebih literal. Lalu ketika aliran kontekstual dikait2kan dengan suatu pemahaman yang modern dan literal dianggap sebagai pemahaman yang sifatnya ketertinggalan (kuno), maka dikotomi di atas menjadi berbalik. Muhammadiyah menjadi tradisional dan NU justru yang modern. Fenomena keterbalikan skor ini menjadi bertambah tajam ketika orang2 NU mengaku bahwa Islamnya adalah Islam substantif dan yang lain [kbanyakan] Islamnya masih Islam simbolik. Akibatnya bertambahlah “kecongkaan“ atas “pengakuan” ke-modern-an si NU. Ini wajar karena akibat dari julukan kekolotan (tradisional) sebelumnya membuat keterperanjatan mereka atas “titel baru“ modern itu membentuk sinyal “impuls“.

Selanjutnya ketika aliran dengan klasifikasi modern dianggap sebagai sesuatu yang lebih baik, maka sejumlah anak2 muda masa kini mulai mengalihkan perhatiannya ke Islam model NU. Istilah mereka Islam yang lebih meng-Indonesia dan tidak sok kearab-araban. Kelompok anak2 muda dari NU sendiri akhirnya membentuk grup (karena ternyata sebagian kiai NU merasa terusik dengan gebrakan mreka) yang [tentu saja] demi optimalnya gerakan pemahaman mereka lalu mempopulerkan istilah : Islam Liberal. Secara struktural, gerakan ini berlabel : JIL. Teman2 lain ada yang mem-plesetkan ini dengan kepanjangan : Jaringan IblisLiberal. Ada benarnya sih, karena akibat dangkalnya kedalaman akal2 an sebagian dari mereka, iblis pun menjadi lebih mudah memainkan perannya. Yah…, dari sini jadi ketauan nih aliran pemikiran saya. Tapi kenapa ? Berikut alasannya.

Kontekstual vs Literal

Netral ternyata tak mesti dikaitkan dengan kebaikan apalagi pilihan modern. Bukankah prilaku “Bunglon” dan “Netral” seringkali memperlihatkan hasil yang sama, yaitu : fenomena “cari aman”.

Begini,

Ada dua kelompok ekstrim dalam hal ini. Ada yang ekstrim kontekstual dan ada yang ekstrim literal. Gerakan Islam Liberal adalah representasi dari ekstrim kontekstual, lalu teman2 yang menyebut dirinya dengan pengikut Salafy adalah representasi dari Islam literal. Biasanya para pendukung Islam liberal protes bahwa tidak semua mereka dominan (murni) di gerakan kontekstual, sebaliknya justru jarang sekali teman2 Salafy yang protes tentang tuduhan terhadap ke-literal-an mereka. Kenapa ? Karena pada umumnya mereka tidak mau tau dengan istilah literal tersebut, apalagi [mnurut mereka] tidak ada rujukannya dari ulama2 masa lalu (as-salaf) yang mereka “kultuskan”.

Mengacu ke hipotesis tersebut di atas, kedua kelompok ini pun [dihipotesa] suatu ketika akan “keluar” dari pemahaman ekstrimnya masing2, lalu mencapai satu titik “syar’i” bersama, yaitu terjadinya : konvergensi antara metoda kontekstual dan literal.

No comments:

Post a Comment