Ngopi Neng Warung

Nasionalisme dan Islam

TGB; Nasionalisme dan Islam

Oleh : Zainurrofieq

“Panggung” TGB M Zainul Majdi awal februari di Cirebon kemrin betul-betul menjadi spirit kebangsaan yang telah meng”install”kan ruh kebaikan bagi bangsa terutama kaum muda. Para santri dan Mahasiswa disuguhi logika nasionalisme TGB yang sangat brilian.
Dipesantren Bina Insan Mulia misalnya, TGB menyampaikan bahwa fenomena yang seolah-olah ada pertentangan antara Islam dan Nasionalisme, itu sama sekali tidak benar. Bahkan lebih cerdas lagi TGB mengatakan kenapa fenomena itu ada? Perlu dilihat cara pandang secara sejarah yang berbeda terutama dalam fenomena bangsa-bangsa yang banyak menginspirasi pergerakan Indonesia seperti Bangsa-bangsa Arab.
Perlu disadari ada resistensi masalah Nasionalisme di tatanan bangsa Arab, karena Nation state, yang dibentuk di Arab adalah merupakan proses pembagian secara paksa atau dikasihkan dari bangsa-bangsa penjajah, yang padahal bangsa Arab memiliki ketertarika sistem kenegaraan dalam sejarahnya dengan sistem khilafah. Maka wajar jika kemudian muncul resistensi tersebut.
Namun dalam sejarah Indonesia, kita bisa lihat dan rasakan bahwa Nation state yang kita rasakan bukan merupakan pembagian dikasih dari penjajah, tetapi  merupakan hasil kerja keras para pendiri bangsa dan juga merupakan proses penyatuan secara rela dari raja-raja kecil nusantara untuk membentuk persatuan yang lebih luas. Di negri Indonesia bisa kita rasakan bagaimana raja-raja di jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lain nya menyerahkan kekuasaan kerajaannya hanya karna ingin lebih bersatu membangun kekuatan nasionalisme yang lebih luas yaitu Indonesia.
Lalu kemudian untuk mengaitkan Nasionalisme dengan Islam, perlu kita merujuk pada sumber-sumber primer yaitu al Quran dan hadits serta bentangan sejarah kaum muslimin. Bukan pada buku-buku yang memang ditulis dari pengalaman kolektif mereka yang tidak sama dengan kita.
Bisa kita simpulkan lebih jelas bahwa sebenarnya Islam menyerap seluruh kebaikan dalam fenomena kemanusiaan dalam kehidupannya. Tidak ada benturan langsung antara Islam dan Nasionalisme.
Dalam Islam, Pandangan tentang qowmiyyah (nation state) yang  ditawarkan Al Quran bukanlah teori konflik  (nadzoriat assidam watadlod) tapi merupakan pandangan dunia yang komplementatif (nahjul ittisaq).  Konsep-konsep nasionalisme dalam Islam tidak membuat bertentangan satu samalain, tapi sebaliknya mempertahankan kebersamaan dan keindahan yang beragam. Maka tak ayal bila ada turunan teori qowaid dengan istilah “ al aadah muhakkamah”.
Menarik sekali ketika TGB mengambil satu  Tafsiran Ibnulqoyyim aljauziah dalam kitab zaadulmaad misal,  tafsiran surat annur dalam kalimat “nurun ala nur”(cahaya diatas cahaya) adalah “nur sar’i ala nur fitroti wal aqli” cahaya syariat dalam cahaya fitrah dan akal. Cahaya sariat Islam tidak datang ke ruang hampa, Tapi datang untuk memandu dan mengkonfirmasi kondisi kemanusiaan. Maka hubbulwaton (cinta tanah air) yang merupakan cahaya fitrah dan cahaya akal ini jelas mendapatkan posisi yang tinggi dalam Islam.
Namun jika kemudian ada yang sengaja mengkotak-kotakkan dengan membenturkan kaum nasionalis yang jauh dari agama dan kaum agamawan yang tidak nasionalis, Ini yang kemudian merupakan awal dari benturan di negri kita ini.
Dalam menyikapi fenomena ini, justru TGB  menyuguhkan sudut pandang yang futuristic dengan mengajak bangsa ini mengalihkan energinya pada mutiara yang terkandung di sejarah negri kita ini.  Dalam implementasi islam dan nasionalisme di Indonesia, Justru sebenarnya kita harus mengangkat keinginan para ulama pendahulu kita yang sebenarnya ingin mengkampanyekan sistim pengelolaan Negri di Nusantara ini menjadikan pelajaran justru bagi bangsa-bangsa di dunia yang lain, baik di bangsa Arab atau pun Eropa dan negri lainnya.
Seperti diskursus dari ulama-ulama kita tentang  Islam Nusantara misalkan, merupakan mutiara yang dapat kita angkat untuk menjadi pelajaran bagi bangsa lain agar juga berkaca tentang pengejawantahan Nation state dari bangsa kita Indonesia. Bukan malah sebaliknya, kita menjiplak teori nasionalisme dan islam dari bangsa lain kemudian menjadi pandangan yang memecah belah negri kita sendiri. Berkali kali TGB menyatakan, Islam tidak turun dalam ruang yang kosong, Islam dan sejarah pembuatnya satu yaitu Allah Swt.
Dipenghujung narasi kebangsaannya, kemudian TGB mewanti-wanti agar bangsa kita jangan salah langkah dengan selalu merujuk pada teori teori dari tulisan-tulisan yang sebenarnya lahir pada situasi ketika ulamanya saat disiksa dalam penjara yang diperlakukan sangat tidak wajar. Beliau menulis kan tentang kebencian dan perlawanan yang heroic memang wajar. Sangat wajar jika tulisannya penuh dengan kemarahan dan cacimaki yang sangat keras. Namun tidak wajar jika kita mengambil mentah-mentah dari tulisan tersebut. Jika demikian, yang salah adalah kita yang tidak bijaksana.
Kembalilah pada sudut pandang yang integral nan penuh optimistis kekitaan, bahkan kita perlu pelopori keyakinan bahwa sebenarnya negri kita Indonesia dengan sekian perhelatan sejarahnya, memiliki rujukan pengalaman kenegaran dan keislaman yang sangat indah dan kaya, dan hal itu kiranya perlu mulai kita narasikan kepada dunia.
Wallahualam…..

Tulisan ini mencerahkan sejalan Islam Nusantara dan Nahdlatul Ulama

No comments:

Post a Comment