Ngopi Neng Warung

BIDADARI-BIDADARI

BIDADARI-BIDADARI
Lelaki normal mana tidak tergiur pada bidadari? Apalagi lelaki penggemar film porno. Bidadari diandaikan bagai perempuan-perempuan seksi dan mempersembahkan tubuhnya seperti dalam industri pornografi. Bidadari pun menjelma tubuh-tubuh polos dengan dada agung yang kenyal, kulit cemerlang, dan budak-budak nafsu durjana.
Khayalan perihal betapa cantik dan sensualnya bidadari, nampaknya tidak hanya menghinggapi para penggemar film porno. Tapi juga menghinggapi mereka yang memenjarakan sahwat dalam simbol-simbol agama. Agama jadi alasan menjejalkan pengertian-pengertian subyektif terhadap kebebasan orang lain, pembenaran atas hasrat yang mengkhayalkan kemolekan birahi. Agama tak menjelma jati diri yang menggembalakan nafsu, mengolahnya dengan perilaku yang kokoh dan terjaga.
Mengartifisialkan belaka istilah atau pengertian ajaran suatu agama, membuat iman dan agama gampang diperalat kepentingan praktis, baik kepentingan politik maupun modal. Agama lalu menjelma sesuatu yang dapat diperjual-belikan, digerakkan untuk tujuan praktis, atau dipragmatiskan sebagai obat penenang "orang-orang mapan" yang hiburannya adalah khayalan, keseolah-olahan, dan penderitaan yang lemah. Di sisi lain, cuma sarana memposisikan "orang-orang" malas sebagai ahli agama dengan simbol-simbol agama bersangkutan. Sehingga leluasa menipu orang demi memakmurkan dirinya sendiri dengan menciptakan kebencian dan permusuhan guna memperalat rasa benci yang dapat menghamburkan materi, nyawa, bahkan alat kelamin manusia.
Pada tahun 40-an, Georgina Spelvin menjadi bintang utama dalam sebuah film porno yang masyhur, "The Devil Miss Jones" garapan Jean Arthur. Film porno ini berkisah tentang seorang perawan yang selalu gagal dalam percintaan. Perawan seksi dan gelisah itu diperankan Georgina Spelvin yang cantik, bintang porno tahun 40-an yang berbibir sensual, kulitnya seolah senantiasa basah dan lengket dengan keringat. Ia selalu berharap dapat berhubungan seksual dengan liar dan mendebarkan. Tetapi sebelum sempat merasakan seks yang hebat, ia meninggal dunia. Apa boleh buat?
Tapi rupanya, iblis tak tega melihat sang perawan itu mati sebelum merasakan nikmatnya seks (tumben iblis baik hati). Maka sang perawan tersebut dikembalikan ke dunia, dia diberi kekuasaan untuk dapat bercinta dengan siapa saja, melampiaskan hasrat seksnya yang liar, nakal, bercinta dengan banyak lelaki.
Kemudian jika bidadari dalam doktrin agama itu dianggap sebagai sesosok perempuan seksi, lalu laki-laki dapat bercinta dengan ribuan bidadari sepuas-puasnya kelak di surga, rasanya tak lazim, bukan? Tentu saja, tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan untuk sekadar menciptakan bidadari bagi orang-orang beriman yang menghuni surga-Nya. Tetapi surga yang tak terjangkau pengandaian manusia sebagaimana dinyatakan dalam teks suci, sejatinya puncak tertinggi kewajaran, realitas paling sempurna dari terwujudnya nilai kemanusiaan. Tak ada hirarki yang seringkali mengharuskan manusia menderita. Pun tak ada diskriminasi. Jika laki-laki mengawini banyak bidadari, lalu bagaimana dengan perempuan? Apakah perempuan beriman yang masuk surga juga kawin dan bercinta dengan banyak laki-laki? Apakah itu tak bertentangan dengan kewajaran kemanusiaan? Bukankah pengandaian ini mirip pelampiasan hasrat seksual yang sinting dan abnormal seperti jalan cerita dalam film-film porno?
Barangkali terjadi kenekatan dalam menerjemah kata "azwajun muthahharah". Kata ini seringkali diterjemahkan "para istri yang suci". Sehingga ia memiliki jenis kelamin. Sejatinya, kata "azwaj" dalam Bhs. Arab berarti "pasangan" yang tak memiliki jenis kelamin tertentu. "Azwaj" bisa laki-laki pun perempuan. Juga kata "huur" yang berakar pada tiga huruf: ha, wa, ra. Kata ini dapat menjelma "hawariy" atau "huwar". 12 murid atau pengikut setia Isa al-Masih yang semuanya laki-laki dalam Qur'an disebut "hawariyun". Ia berarti "pendamping yang setia". Tak berjenis kelamin tertentu, bisa laki-laki bisa perempuan. Lalu kenapa ia diartikan sebagai bidadari?
Menerjemahkan "huur" atau "azwaj" sebagai bidadari wajar saja dari sudut pandang laki-laki. Tetapi jika dua kata yang masyhur itu diterjemah secara mutlak atau, dengan perkataan lain, diberi jenis perempuan, seketika telah terjadi diskriminasi terhadap jenis kelamin.
Jelaslah dengan demikian, ajaran agama (dalam hal ini Islam) seringkali disalah-kaprahkan segelintir orang. Tujuannya cuma menarik kerumunan dalam sebuah kelompok tertentu dengan keyakinan dan pandangan agama yang gawat serta fatalistik. Sehingga akan dapat dengan mudah diremot sebagai alat meraih kekuasaan, materi, kehormatan tertentu, atau mengganggu keadaan guna menciptakan teror dan rasa takut. Celakanya, sebagian lain terpancing pada posisi berhadapan—atau menghina kebodohan—dengan "kelompok gawat beragama" itu. Siapa yang menang? Yang menang adalah yang memperalat secara keji kepintaran dan ketololan dengan modal dan kekuasaan. Tidaklah cukup mengharukan, bukan?

No comments:

Post a Comment