Ngopi Neng Warung

Mbah Siddiq, Kyai Pedagang yang Mengislamkan Jember

Mbah Siddiq, Kyai Pedagang yang Mengislamkan Jember
Di Jember yang gelap, banyak hutan dan menyeramkan ini, Kyai Shiddiq diperintah gurunya (Kyai Cholil Bangkalan) untuk berdakwah. Penduduk Jember pada saat itu masih sedikit, selain telah ada agama Hindu dan Budha, Islam ketika itu sangat sedikit. Selain itu, penduduk Jember banyak yang melakukan perjudian, perampok, berzina, dan lain-lain.
Selain berdakwah, Kyai Shiddiq juga berprofesi sebagai pedagang kain, sarung, alat-alat pertanian, kitab, dan lair-lain. Seringkali la berdagang keliling di Jember, Rambipuji, Kencong, Balung dan Ambulu. Barang dagangan Kyai Shiddiq cukup laris, karena beliau terkenal jujur dan berperilaku simpatik. Sebagai Da'i, Beliau ajarkan agama pada murid-muridnya di pasar. Ketika ada pembeli, aktivitas mengajar dihentikan sejenak untuk melayani pembeli. Setelah selesai, ia teruskan kembali aktivitas mengajamya. Akhimya, banyak orang menghadap Kyai Shiddiq untuk belajar agama, karena orang tertarik pada pribadinya yang jujur, sopan, baik dan simpatik Keteladanan pribadi beliau mencontoh keteladanan Rasulullah Saw.
Syahadatain. Fatihah, Tahiyyati, Fasholatan dan Al Qur'an. Dengan sabar ia ajarkan satu-persatu, dan secara praktis ia ajarkan pula akhlaq dan aqidah. Cara Kyai Shiddiq mengajar agidah dan akhlaq adalah bercerita. Tentu saja metode bercerita ini, mudah ditangkap bagi muri d-muridnya. Ketika muridnya tidak datang, dihabiskan waktunya dengan membaca Al Quran dan dalailul khairat. Bila sudah terasa banyak ngaji Qur'an, lalu la pindah ngaji dalail. Dan hampir setiap malamnya, waktu Kyai Shiddiq sering digunakan untuk beruzlah (menyepi) di makam hibah Cholifah. Makam Waliyullah Mbah Cholifah yang terletak di Tempean. Menurut riwayat, Mbah Cholifah adalah ulama dan tentara pasukan Pangeran Diponegoro yang melarikan diri ke Jember.
Setiap hari habis berdagang dan pulang ke Gebang, Kyai Shiddiq selalu mengendarai dokar. Banyak orang Jember yang faham dokar kesukaan beliau, yakni dokar yang tertutup rapat di samping dan belakangnya. Mengapa?, karena di dalamnya Nyai Shiddiq ikut. Kyai Shiddiq sendiri, lebih suka duduk sendirian di depan bersama kusir dokar, bahkan seringkali harus menambah ongkos dokarnya setengah rupiah, hanya agar bisa duduk sendiri.
Ternyata, beliau lakukan itu semata-mata agar bisa tenang membaca dan menghafal Al-Qur'an. Tentu saja, kusir dan orang lain yang menumpang menjadi segan mengajaknya ngobrol Walhasil, dengan membaca dan menghafalkan setiap harinya tercapailah cita-cita Kyai Shiddiq. Beliau hafal Al-Qur'an dalam tempo ± 4 tahun dari atas dokar.
Ternyata, berdakwah yang dilakukan di tengah-tengah keramaian pasar dan juga berkeliling ke daerah-daerah di sekitar Jember adalah strategis. Dengan berdakwah di tengah-tengah keramaian, justru banyak orang yang mengetahui dan tertarik untuk mengikutinya. Dan Kyai Shiddiq, tidak hanya dikenal di Jember saja. Di daerah Ambulu. Rambipuji, Kencong, Balung dan lain-lain banyak mengenalnya sebagai "Kyai Pedagang".
Setelah dirasa tidak memungkinkan bagi beliau untuk berdakwah sambil berdagang, karena dianggap kurang efektif. maka Kyai Shiddiq merencanakan membangun musholla di sebelah rumahnya di Gebang. la ingin mewujudkan cita-citanya sejak mondok, yaitu mendirikan pondok pesantren. Tujuan Kyai Shiddiq mendirikan pondok pesantren yang masih berupa lang-gar ini adalah:
1. Menyiarkan dan mewariskan ilmu.
2. Tempat pendidikan anak dalam rangka mengangkat derajat ummat islam
3. Usaha untuk menyiapkan ulama atau muslim yang bertaqwa.
Masyarakat banyak berdatangan ke langgar Kyai Shiddiq untuk mengaji. Mereka umumnya adalah santri yang pemah diajar beliau di berbagai tempat.
Syarat-syarat menjadi santrinya Kyai Shiddiq antara lain:
1. Berjanji "menata niat mengaji" hanyalah semata-mata untuk beribadah. Seandainya niatnya untuk mencari ilmu saja, maka ditolak.
2. Tidak boleh ngaji lain sebelum bagus bacaan Qiro'atus Syahadati, Usholliyani, Fatihahi, Tahiyyati, Adzan dan Igomah serta Qiro'atul Qur'annya.
3. Wajib patuh pada peraturan pondok, karena beliau menginginkan mencetak kader-kader Islam yang tangguh.
Dalam mendidik santri, Kyai Shiddiq lebih menfokuskan pada kader (santri) yang berorientasi pada amal (kelakuan) dari pada tingginya ilmu semata yang didapatkan. Ini sangat logis, sebab masyarakat saat itu dalam taraf kebodohan dan kejahatan moral. Mereka akan mudah menerima ajakan/da'wah dari orang-orang yang bisa di contoh kelakuannya yang baik (uswatun hasanah). Mereka masih belum sampai pada taraf/ukuran konflik pendapat dalam hujjah agama. Masyarakat mudah di bimbing dengan praktek yang sederhana dan contoh nyata.
Praktek-praktek ibadah yang dilakukan secara istigomah di terapkan langsung oleh beliau. Beliau bimbing dan diawasi ketat praktek sholat berjama' ahnya, ketepatan waktu adzan, dziqir, dan lain-lain. Bila sudah jadi -artinya santri yang siap diterjunkan ke masyarakat- santri ditempatkan di daerah-daerah yang strategis.
Daerah-daerah strategis dalam berdakwah adalah
1. Masjid-masjid yang banyak dirintis oleh beliau.
2. Kampung-kampung yang ramai penduduk.
3. Daerah-daerah hitam (sarang kejahatan)
Santri yang mula-mula ngaji di langgar Gebang antara lain Dahlan dari Kaliwungu Jawa Tengah - kemudian menjadi Kyai di Jenggawah, dan Ali dari Angsana Mumbulsari. Kemudian disusul oleh santri-santri dari daerah lain, sehingga langgar itu penuh santri ngaji. Keinginan Kyai Shiddiq adalah membuat pondokan santri yang mengelilingi langgar. Tetapi keinginan itu sulit terealisir karena posisi langgar berhimpitan dengan rumah-rumah penduduk di Gebang.
Kyai Shiddiq berikhtiar mencari tanah yang lebih luas untuk mewujudkan cita-citanya itu, membangun pesantren dengan pondok-pondok santri yang mengelilinginya Berdasarkan hasil istikharah, Kyai Shiddiq temukan tanah idamannya itu di daerah Talangsari (di tanah wagaf Kyai Shiddiq sekarang). Tanah yang luasnya ± ½ hekktar itu masih berupa tanah sawah. Kemudian pada tahun 1915, Kyai Shiddiq pindah rumah ke Talangsari. Dan tentu saja semua santrinya ikut pindah. Rumah di Gebang kemudian ditempati oleh KH Mahmud (putranya) yang sekaligus Kyai Mahmud melanjutkan pengajaran agama di Musholla Gebang itu.
Musholla dan rumah baru di Talangsari dibangun, beliau dibantu oleh H. Alwi dan Bang Abd. Rachman, H. Alwi banyak sekali menyumbangkan dana untuk kepentingan pembangunan rumah kyai dan musholla di tanah waqaf Jadilah tanah idaman itu sebagai pesantren yang dicita-citakan sejak du1u. Pesantren itu tidak ada namanya. Hanya orang Jember mengenalnya sebagai Pesantren KH. Shiddiq. Dan ndalem Kyai di Talangsari ada 2, yaitu: (1) Ndalem utara musholla (sekarang rumah Drs KH Nazir Muhammad MA) adalah ndalem Nyai Maryam dan (2) Ndalem selatan Musholla (sekarang rumah Gus Eri ) adalah ndalem Nyai Mardliyah.
Santri yang sudah dianggap cukup menimba ilmu pada Kyai tihiddiq dan merencanakan pamit, Kya’i Shiddiq selalu menasehati sebagai berikut:
1. Dirikanlah musholla, walaupun sederhana dan kecil. Dengan mendirikan musholla, maka tidak mungkin santri lupa pada sholat berjamaah. Disamping itu, menuntut santri tersebut mengamalkan ilmu di masyarakat. Mengamalkan ilmu agama khususnya tentang sholatwudlu, terutama pada anak-anak. Dengan mengajarkan anak-anak ilmu agama maka sedini mungkin sudah menyiapkan generasi masyarakat yang iman dan taqwa.
2. Santri hendaknya merintis berdirinya masjid. Untuk daerah yang belum terlaksana sholat Jum'at. Atau santri hendak ikut mengisi kegiatan masjid, seperti khotbah, pengajian lain-lain.
3. Pada hari raya `Idul Fitri dan `Idul `Adha, para santri hendaklah mengajak masyarakat untuk meramaikannya dengan cara bertakbir, membersihkan dan memperindah lingkungan. Pagar rumah dan dinding dikapur dan ruangan rumah ditata terkesan istimewa (lain dari biasanya).
Ketiga pesan yang sederhana itu, dilakukan dengan istigomah (sungguh-sungguh). Kyai Shiddiq sendiri sering mengunjungi para santrinya di tengah-tengah kesibukan berdagangnya. Beliau selalu mengingatkan tentang "musholla, mengajar dan sholat jum'at dengan mencek: Apakah si santri sudah mendirikan musholla/langgar?, Apakah si santri mengamalkan ilmunya (mengajar dan Apakah di daerahnya (kampung si santri) sudah melaksanan sholat Jum' at?
Hasilnya ternyata sangat nampak, banyak musholla yang didirikan di desa-desa. Dan para santri diwajibkan untuk mengajar masyarakat, khususnya anak-anak Begitu pula daerah-daerah yang belum ada masjidnya, maka beliau memprakarsainya sebagaimana pondirian musholla-musholla, seperti: Di Baratan, Pak Bardak (tokoh masyarakat Baratan dan santri Talangsari) ketika berinisiatif mendirikan masjid, tetapi la tidak memiliki dana. "Kyai, nopo njenengan ngersahaken teng mriki ? "(Kyai, apakah Kyai menghendaki tanah di sini?
Maksudnya adalah menanwarkan tanah untuk kegiatan da'wah) ", tanya Pak Bardak "lyo, tapi, gawehen masjid. Aku Insya Allah khotbah ning masjid kene..." (Iya, Tapi buatlah masjid. Dan aku insya Allah khotbah (di masjid sini) ", jawab Kyai Shiddiq.
Kemudian beliau kumpulkan masyarakat Baratan untuk niusyawarah. Dan diputuskan untuk bergotong-royong membangun masjid di atas tanah jariyah Pak Bardak tersebut. Ada yang menyumbang dana, , dan ada yang menyediakan material dan ada pula yang menyediakan tenaganya.
Masjid-masjid yang didirikan beliau atau diprakarsai berdiri oleh beliau antara lain
1. Masjid Jamik Jember (Masjid Al-Baitul Amin)
2. Masjid Talangsari (Masjid Sunan Nur)
3. Masjid Kebonsari (Masjid Rachmat)
4. Masjid Angsana Mumbulsari.
5. Masjid Sukosari Sukowono.
6. Masjid Subojatian, Pakusari.
7. Masjid Bangsalsari.
8. Masjid Sumber Pinang - Kalisat.
9. Masjid Baratan Patrang.
10. Masjid Bintaro Patrang.
11. Masjid Klompangan, Jenggawah.
12. Masjid Pace, Silo.
13. Masjid Bunder, Sukowono.
Kyai Shiddiq mengisi khotbah Jum'at di masjid-masjid tersebut secara bergiliran. Dalam khotbahnya menggunakan bahasa Arab (tidak diterjemahkan). Ternyata dalam strategi mendirikan masjid, musholla dan mengajarkan ilmu tersebut adalah da'wah yang berhasil. Fungsi masjid dan musholla sebagai tempat beribadah sholat dan tabligh (menyampai agama) telah menyebarkan Islam secara merata di daerah Jember.
Putera-putranya yang sejak usia muda telah menjadi Kyai antara lain: KH. Mansur, KH. Achmad Qusyairi, KH Machmudz, KH. Mahfudz Shiddiq, KH. Abdul Halim Shiddiq, KH. Abdullah dan KH. Achmad Shiddiq. Para menantu antara lain: KH. Abdullah bin KH. Umar, KH. Muhammad, KH. Hasyim dan KH. Dhofir Salam. Keberhasilan tersebut tentu dipengaruhi pula oleh pola kehidupan sehari-hari dimasa hayatnya. Mungkin kita bertanya, bagaimana pola kehidupan Kya’i Shiddiq sehingga Allah memberinya taqdir dengan dikaruniainya keturunan yang selanjutnya menjadi ibarat mutiara-mutiara.
Ternyata, Kya’i Shiddiq adalah sosok yang sangat "istiqamah", yaitu: tekun, telaten, ajeg, terus-menerus dengan tidak bosan-bosan dan mengamalkan apa saja yang dapat diamalkan. Hampir setiap hari Kyai Shiddiq selalu bangun pada jam 3 malam untuk sholat sunnat tahajjud, riyadhah maupun sholat-¬sholat sunnah lainnya. Menjelang subuh kyai keliling pondok mcmbangunkan santri. Beliau keliling sambil membawa tongkat penjalin, damar ublik (obor) dan teko berisi air. Dengan tongkatnya beliau ketok pintu-pintu pondok para santri.
Terkadang kyai membangunkan santri dengan cara menabuh blek gembreng, sehingga bersuara gaduh dan memekakkan telinga. Bahkan setiap santri yang terlelap tidurnya, pasti aka menjadi sasaran guyuran air ceret yang selalu dibawanya. Sesudah adzan (santri bernama Ilyas yang ditugaskan sebagagai Mu'adzin), kyai sendiri selalu memimpin pujian (dzikir sebelum sholat subuh, setelah sebelumnya kyai melaksanakan sholat Qobliyah terlebih dahulu. Setelah berzikir/pujian kemudian melakukan sholat jamaah Subuh.
Pada umumnya, wiridan baru akan selesai sampai surya muncul agak tinggi. baru kemudian kyai masuk ke "kamar khusus" di sebelah utara tempat imam di musholla. Di kamar khusus" itulah tempat Kyai Shiddiq menyepi, beribadah sholat sunnat dan lain-lain. Santri tak seorangpun yang berani masuk kamar tersebut. Karena dalam "kamar khusus" itu Kyai Shidang melakukan sholat Dluha dan sholat-sholat sunnah lainnya Selesai sholat Kya’i biasanya melanjutkan dengan mengaji Al-Qur'an dan membaca dalailul khairot. Selain sebagai seorang hafidz, Kyai Shiddiq sangat istiqamah menghatamkan Alquran ; setiap minggu.
Secara runtut, batas-batas bacaan Al-Qur' an dalam seminggu sebagai berikut:
1. Hari Jum'at membaca Al Fatihah s.d Al -Maa'idah
2. Hari Sabtu membaca Al-An'am s.d At-Taubah
3. Hari Ahad membaca Yunus s. d Maryam
4. Hari Senin membaca Thaha s. d Al-Qashash
5. Hari Selasa membaca Al-Ankabut s.d Shaad
6. Hari Rabu membaca Az-Zumar s.d Ar-Rakhman
7. Hari Kamis membaca Waqi' ah s. d An-Naas
Sekitar pukul 08.00 sampai jam 09.00 pagi. Kyai mengajar Fasholatan dan Al-Qur'an. Kitab Fasholatan yang diajarkan adalah hasil karangan beliau sendiri. Biasanya ketika mengajar Fasholatan dan Al-Qur'an banyak menggunakan cara-cara sorogan. Usai sorogan Fasholatan dan AI-Qur' an, barulab Kyai masuk ke ndalem untuk sarapan pagi. Setelah itu, Kyai masih meneruskan kembali sholat-sholat sunnah, mengaji Al-Qur'an dan membaca Dalail.
Baru pada sekitar jam 10.00 sampai jam 12.00 siang Kyai Shiddiq mengajar ngaji kitab kuning. Dalam pengajian kitab kuning ini, Kyai Shiddiq banyak menggunakan cara weton/bandongan. Cara Weton adalah cara pengajian kitab yang berasal dari istilah jawa, karena pada umumnya waktu pengajian disesuaikan dengan waktu-waktu tertentu seperti usai waktu sholat, dan sebagainya/ Secara teknis dalam pengajian cara weton ini Kyai membaca dan menerangkan kitab yang diperuntukkan secara massal. para santrinya memperhatikan kitabnya sendiri sambil membuat catatan-catatan (tentang arti maupun keterangan dari kyai).
Selesainya pengajian, Kyai Shiddiq makan siang bersama-sama keluarga dan khaddamnya. Kemudian mengerjakan sholat Dzuhur secara berjama'ah. Sebelum sholat dzuhur, bersama - sama melakukan dzikir/pujian dan sholat sunnah Qobliyah.
Selesai sholat, lalu wiridan yang bacaannya lebih pendek dari dzikir ba'da subuh. Disambung dengan sholat sunnah Ba'dliyah dzuhur dan mengajar ngaji Al-Qur'an dan Fasholatan. Santri yang dibolehkan ngaji Al-qur'an adalah yang sudah lulus (fasih/tartil bacaan) Syahadati, Fatihati, Tahiyyati Sholati, adzan dan igamah. Bila bacaan masih belum tartil tetap masih harus mengaji Fasholatan saja. Selesai mengajar, barulah Kyai Shiddiq istirahat (tidur) sebentar. Begitu bangun, Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnah berkali-kali, mengaji Al¬qur'an dan membaca dalail. Amalan sholat sunnah yang istiqamah dilakukannya 100 rakaat dalam sehari-semalam serta mengkhatam dalail sehari sekali.
Waktu ashar tiba, beliau sholat sunnah berkali-kali dan para santri membaca syi'ir "Aqidatul 'Awam". Lalu sholat jama'ah Ashar dan Dzikir. Dzikir ba'da sholat Ashar sama dengan dzikir ba'da sholat subuh. Kemudian dilanjutkan dengan pengajian kitab Ihya 'Ulu¬widdin dan Shohih Buchori ". Selesai mengajar, Kyai masuk dalem melanjutkan mengaji Al-Qur'an dan dalail sampai masuk waktu Maghrib. Sebelum sholat jama'ah Maghrib.
Dzikir ba'da sholat Maghrib sama dengan dzikir ba'da subuh. Selesai berdzikir dilanjutkan sholat sunnah Ba'diyah dan ngaji. Pengajian ba'da sholat Maghrib adalah Al-Qur'an dan F'asholatan yang teknisnya diatur sebagai berikut:
1. Santri dewasa dan tartil bacaannya harus membaca Qur' an 1 juz, sehingga dalam sebulan sudah harus hatam. Tempat mereka di dalam musholla.
2. Santri bocah harus ngaji Al-Qur'an dan Fasholatan di luar langgar. Mereka diajar Badal Kyai yaitu Haji Baidlowi (lurah pondok asal Madura) dan Abdul Azis.
Selesai ngaji (tanpa turun dari langgar) lalu bersama-sama pujian gobliyah sholat Isya' dan sholat sunnah rawatib. Kemudian melaksanakan sholat Isya' berjama'ah dan dilanjutkan dengan wiridan dan sholat sunnat rowatib. Wiri¬dannya sama dengan wirid ba'da sholat `Ashar. Di ndalem Kyai Shiddiq melakukan sholat sunnat berkali-kali, ngaji Qur'an dan dalail sampai "sare" (tidur). Khusus pada malam Jum'at ba'dal maghrib, kyai Shiddiq memimpin bacaan Barzanji. Dan pada malam Senin ba'da Maghrib, membaca Diba'. Semula pemba¬caan Diba' dilakukan malam Jum'at dan Barzanji pada malam Senin.
Suatu saat ketika sedang memimpin pembacaan (pada malam Senin) itu, tiba-tiba Kyai Shiddiq melihat kehadiran Rasulullah Saw hadir dan berdiri di pintu. Spontan, Kyai Shiddiq merobah bacaannya dengan Diba'. Maka sejak peristiwa inilah, pembacaan Diba' dilakukan setiap malam Senin dan malam Jum'at untuk Barzanji. Kemudian dilanjutkan dengan membaca Rotibul Haddad (Rotib Sayyid Abdullah Alawi Al-Haddad).
Aktivitas mengajar Kya’i Shiddiq yang sangat padat itu dilakukan tatkala telah banyak santri yang ngaji pada beliau. Sebelumnya, Kyai Shiddiq membagi waktunya dengan berda¬gang sebagai ma'isahnya (mata pencahariannya hidupnya). Kegiatan mengajar yang full tersebut membuat Kyai Shiddiq harus mengalihkan perhatian dari aktivitas berdagang pada santrinya dan putra-putranya.
Nampaknya, Kyai Shiddiq terus dijaga oleh Allah Swt. dari makanan hasil perbuatan haram karena sifat wiro'i beliau. Wiro'i adalah sikap yang selalu menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela, seperti makruh dan subhat (tidak jelas, apakah dibolehkan oleh agama atau tidak), terlebih lagi haram yang jelas dilarang. Mbah Siddiq tidak berkenan mengajar kitab menggunakan papan tulis, sebab ayat-ayat Al Quran yang ditulis papan yang kemudian dihapus, berjatuhan. ini kan sama dengan menelantarkan lembaran Mushaf yang robek.
Mbah Sidiq dan NU
Setelah NU berdiri, KH. Hasyim Asy'ari mengutus KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Masykur untuk sowan kepada Mbah Sidiq. Tujuannya adalah meminta dukungan kepada beliau dan memintanya agar sudi masuk dalam struktur pengurus. Dalam pertemuan itu beliau tidak langsung menjawab. Beliau meminta waktu barang semalam untuk meminta petunjuk. Pada keesokan harinya beliau baru memberikan jawaban. Isi dari jawabanya adalah beliau sangat respek dengan lahirnya NU.
Akan tetapi, beliau keberatan apabila ikut masuk dalam jajaran
pengurus. Alasannya adalah beliau ingin berkonsentrasi mengurus para santri. Dalam kesempatan itu beliau mengatakan bahwa anak cucunyalah yang akan ikut mengurus NU.
Sesuai dengan jawabannya pada waktu itu, di kemudian hari anak cucunya mendarmabaktikan hidupnya untuk kebesaran NU.
Banyak dari mereka duduk dalam pengurus teras NU. Tercatat KH. Mahfudz Sidiq sebagai Ketua Umum PBNU, KH. Abdullah Sidiq sebagai Ketua PWNU Jawa Timur, KH. Achmad Sidiq sebagai Rais Am PBNU. Mereka adalah putra-putra Mbah Sidiq. Dari golongan cucu tercatat KH. Abdul Hamid Pasuruan, sang Waliyullah, KH. Ali Mansur, pencipta Salawat Badar, H.
A Hamid Wijaya sebagai Ketua PP GP Ansor yang pertama dan Katib Am PBNU, dan Hizbullah Huda sebagai Ketua PW GP Ansor Jatim.
Mbah Sidiq wafat pada hari Ahad Paing, 9 Desember 1934 M dalam usia 80 tahun. Beliau meninggalkan beberapa karya tulis, di antaranya adalah nadzam kitab Safinah dan meninggalkan keturunan yang mayoritas hafal Al-Qur’an dan menjadi pengasuh pesantren. Keturunan yang berkah ini termasuk dari buah yang didapat dari lakon riyadhah beliau.
Beliau selalu menyempatkan waktu disela-sela berdagang untuk menghafal Al-Qur’an. Begitu juga ketika perjalanan pergi-pulang ke pasar. Sehingga dalam waktu empat tahun beliau dinyatakan sebagai hafidz Al-Qur’an. Beliau dimakamkan di pemakaman keluarga di Turbah Condro, Jember, Jawa Timur.
Salah satu keturunan beliau juga mempunyai karya yang mendapat apresiasi dari ulama internasional. beliau adalah KH. Ahmad Sidiq. Karya beliau juga berupa nadzam atas kitab Safinah. Dari nadzam tersebut ada seorang ulama bermadzhab Maliki yang tertarik untuk memberi syarah. Judul karyanya tersebut bernama Inârat ad-Duja bi Tanwîr al-Hija bi Nadzmi Safînah an-Naja.
Lahumul Fatihah...
Like Fanpage ULAMA & KIAI Nusantara

No comments:

Post a Comment