Ngopi Neng Warung

Tulisan Kang Manto

Sumanto Al Qurtuby
Pengalaman nyantri  di Pekalongan.



Dulu waktu belajar di Madrasah Aliyah di Pekalongan, salah satu hobi saya adalah mengikuti berbagai acara yang digelar para habib di "kota batik" ini. Di Pekalongan ada "kampung Arab" yang cukup tua, dan banyak habib tinggal di kawasan ini. Kebetulan dulu saya kos di keluarga para kiai yang juga tempat saya belajar mengaji (yang semua kiaiku kini sudah almarhum, semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa beliau) yang terletak tidak jauh dari "kampung Arab" ini.
Waktu itu setidaknya ada dua habib yang sangat saya hormati dan kagumi: Habib Luthfi Bin Yahya (seperti dalam foto ini) dan Habib Ahmad al-Alattas. Keduanya tokoh kharismatik dan berpengaruh meskipun berbeda haluan politik dan cukup berlainan kelompok jamaah pengikutnya. Tapi saya ikut dua-duanya dengan harapan untuk "ngalap berkah" dari para habib yang sangat mulia.
Saya ikut aktivitas ritual Habib Ahmad khususnya pada waktu acara haul para wali seperti Syeikh Maulana Maghribi di Desa Wonobodro, Blado, di daerah pegunungan di Kabupaten Batang. Beliau adalah seorang "Habib Dalail" karena selalu memimpin membaca kitab Dalail Khairat di setiap acara haul para wali. Dalail Khairat adalah sebuah kitab puji-pujian dan doa untuk Nabi Muhammad SAW yang disusun oleh seorang sufi dan ulama asal Maroko, Muhammad Sulaiman al-Jazuli al-Syadzili (w. 1465). Setiap beliau membaca kitab ini, ribuan orang, termasuk saya, mengikutinya dengan khuyu' dan penuh khidmat. Tidak jarang orang-orang menangis histeris saat membaca puji-pujian dan doa ini.
Kepada Habib Luthfi yang ahli musik-musik klasik (Beethoven, Mozart, dlsb) sekaligus "pemimpin umum organisasi thariqat NU ini saya rajin mengikuti pengajian-pengajiannya yang sangat lembut, sabar, toleran, dan penuh kharisma. Beliau tidak gampang marah dan ngamuk apalagi menyumpahserapahi dan "me-neraka-kan" "orang-orang nakal" misalnya. Beliau juga tidak pernah mengafir-sesatkan orang-orang yang berbeda agama dan aliran keislaman. Dakwah buat beliau harus dilakukan melalui cara-cara yang lembut bukan dengan paksaan dan kekerasan.
Begitulah seharusnya para tokoh agama, apalagi seorang habib yang dalam dirinya mengalir darah Nabi Muhammad SAW yang agung, harus berhati lembut dan berjiwa lapang, bukan berangasan dan ngamukan seperti "preman jalanan". Meskipun saya bukan "habib", saya bersyukur pernah "berguru" dengan habib, dan kini saya juga mempunyai sejumlah murid yang habib (khususnya dari keluarga al-Attas dan Assegaf) dari Yaman dan Saudi. Tataplah wajah Habib Luthfi ini, begitu lembut dan menyejukkan dan juga para Kyainya .

Jabal Dhahran, Arab Saudi