Ngopi Neng Warung

Misran, Sang Pahlawan Mantri Desa

sumber : abuga / www.kompasiana.com

Masih ingat Bapak Misran? seorang mantri (perawat) desa Kuala Samboja, Kutai Kertanagara, Kalimantan Timurdi pedalaman Kalimantan Timur yang ditangkap karena membantu orang yang membutuhkan pengobatan. Ia dituduh melanggar UU No36/2009 tentang Kesehatan.
Setelah divonis bersalah kemudian melakukan uji materi UU tersebut ke MK. Kemarin MK memutus mengabulkan permohonan Misran. Dengan demikian kini para mantri boleh melakukan pelayanan kesehatan layaknya dokter. Klausul yang membolehkan mantri praktek adalah “perawat yang melakukan tugasnya dalam keadan darurat yang mengancam jiwa pasien diperlukan tindakan medis segera untuk menyelamatkan pasien”.

Keputusan MK ini disambut sorak dan gemuruh kemenangan bagi para mantri yang selama ini selalu dihantui pelanggaran hukum bila berpraktek ria. Bagi sebagian dokter keputusan MK ini adalah musibah. Sudah bukan rahasia lagi di daerah-daerah antara dokter dan mantri saling curiga dan berebut pasien. Dokter menuduh perawat menyerobot lahan profesi lain sedangkan perawat dengan enteng akan menjawab bahwa itu salahnya dokter punya lahan kok tidak digarap atau karena kemauan masyarakat. Lagi-lagi pasien yg akan dirugikan karena dijadikan media propaganda dan sarana ujicoba bagi kedua profesi tersebut.
Kalau mengacu kepada praktik yang diterapkan secara international perawat (mantri) tidak boleh praktek memberikan pengobatan karena itu wilayah dokter. Praktek keperawatan yang diperbolehkan adalah pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Begitu juga dokter tidak berwenang memberikan obat karena itu wilayah praktik (scope of practice) kefarmasian. Ada beberapa negara yang membolehkan perawat memberi obat namun sangat terbatas sekali pada jenis yang yg disebut obat ‘over the counter’. Itupun setelah menempuh pendidikan khusus hingga dapat gelar Practioner Nurse. Lain dengan para mantri di Indonesia dengan mantuan IIMS dan dunia internet mereka bisa menjelajah obat-an dan diberikan kepada masyarakat yang jauh di luar wewenangnya.
Di Indonesia praktek mantri adalah suatu keterpaksaan, di mana tenaga dokter sangat terbatas. Belum lagi dokter yang enggan ditugaskan di daerah terpencil. Dari keterpaksaan ini menjadi keterusan dan keenakan karena imbalan materi yang didapat. Kalau kita bertanya kepada para mahasiswa keperawatan apa motivasi kuliah di perawatan maka jawabannya ada empat: 1- ingin cepat bekerja, 2- supaya bisa menyuntik (praktek), 3- kalau beruntung supaya menjadi istri/suami, 4- hahahahahahahaha………………
Inilah wajah birokrasi Indonesia yang carut marut termasuk di bidang pelayanan kesehatan. Kewenangan yang tumpang tindih dan kepentingan materi lebih mendominasi akhirnya pihak pasienlah yang harus menanggung akibatnya baik materiil maupun moril. Di lain pihak pembuat UU terlihat jelas belum memahami geografi dan kultur Indonesia memiliki banyak desa-desa terpencil.
Lalu apa yang bisa kita lakukan setelah putusan MK ini? Setidaknya harus ada kerjasama di lintas sektoral yaitu Kemendagri dan Kemenkes. Langkah ini diperlukan supaya ada payung hukum yang jelas.
Kemendagri
Pemerintah Daerah baik itu propinsi dan kabupaten seharusnya bisa memetakan daerah mana yang tergolong terpencil sehingga dimungkinkan seorang mantri memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat setempat. Sebagai contoh di daerah perkotaan tidak diperbolehkan mantri praktek walalupun kenyataannya tidak ada masyarakat kota yang berobat ke mantri. Intinya UU No 36/2009 bisa dijabarkan ke dalam bentuk Perda.
Kemenkes
Membuat standarisasi yang memungkinkan seorang mantri bisa praktek. Standard dengan pendidikan dan ketrampilan tertentu yang bisa melegitimasi seorang mantri bisa memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat. Ini bisa semacam ajang sertifikasi bagi perawat. Sertifikasi yang meliputu segala aspek tindakan keperawatan, kefarmasian, kegawatdaruratan. Sertifikasi ini harus selalu diperbarui sehingga pendidikan dan ketrampilan selalu up to date. Ini juga diperlukan untuk penerbitan surat ijin dsb.
Di samping ada SOP dan scope of practice yang jelas. Misalnya obat apa saja yang boleh diberikan, tindakan apa saja yang bisa diberikan dan sangsi-sangsi yang jelas bagi yang melanggar SOP. Jangan ada lagi kasus pasien kembung dan sesak nafas karena diinfus mantri dan ditinggal pulang.
Sebagai ilustrasi adalah perawat yang boleh praktek adalah
1- Lulusan S1 dengan gelar Ners,
2- Memiliki kartu anggota PPNI
3- Memiliki SIPP (Surat Ijin Praktek Perawat)
4- Memiliki sertifikat PPGD
5- Lulus modul kursus ‘Nurse Practisioner’
Sekali lagi kecakapan yang harus dimiliki di atas hanyalah contoh. Kita mempunyai banyak sumber daya manusia untuk menentukan yang terbaik. Yang dibutuhkan adalah political will membangun kesehatan bangsa ini dan menanggalkan ego profesi masing-masing.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Salam ketika mantri berpraktek ria

No comments:

Post a Comment