Ngopi Neng Warung

Tasawuf bukan dari Islam ?

Dalam sejarahnya, tasawuf tak pernah lepas dari hujatan orang. Menurut mereka, tasawuf adalah bid’ah, mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dala agama. Bahkan,
tasawuf adalah suatu aliran yang sesat dan menyesatkan, baik karena kejahilan, motif menutupi ketidaksetiaan mereka kepada syariat, maupun malah untuk menghancurkan agama sendiri dari dalam. Apa yang menyebabkan sikap-sikap bermusuhan seperti ini terhadap tasawuf? Yang pertama adalah keyakinan tasawuf bahwa selain syariat, ada thariqah dan hakikat. Keyakinan inilah yang menyebabkan penolakansecara total terhadap tasawuf. Sedang yang kedua adalah adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu yang diungkapkan sebagian sufi, seperti hulul,ittihad,wahdah al-wujud, dan sebagainya. Keberadaan-keberadaan kepercayaan yang heterodoks (nyeleneh) dan rumit seperti ini menyebabkan para penentangnya hanya mempersoalkan kepercayaan-kepercayaan ini tanpa mesti menolak keseluruhan tasawuf-kecuali sekelompok orang yang memang cenderung mengafir-ngafirkan kelompok lain yang bukan kelompoknya.
Mengenai sebab yang pertama, kaum sufi memang percaya bahwa syariat-dalam makna melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara lahiriah dengan kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna agama itu sendiri-tak akan mampu membawa seorang Muslim kepada tujuan puncak keberagamaannya. Tujuan ini, menurut kaum sufi adalah hakikat (haqiqah), sesuatu yang besifat batiniah dan pada akhirnya berpuncak pada hilangnya ego (nafs) dalam Tuhan secara total,serta menyatunya (tauhid) manusia kembali (ma’ad) dengan Tuhan yang juga sumber- awal (mabda’)-Nya. Untuk mencapai tingkat ini orang harus menjalani thariqah, yakni maqamat dan ahwal yang merupakan esensi tasawuf itu sendiri. Seperti “syariat” juga, istilah thariqah bermakan “jalan”. Hanya saja, jika “syariat” berarti jalan raya, “thariqah” berarti jalan kecil atau sempit. (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa menempuh thaiqah jauh lebih sulit ketimbang menempuh “syariat”). Nah, dalam konteks ini, syariat “hanyalah” kendaraan untuk thariqah, dan thariqah, pada gilirannya, adalah kendaraan untuk mencapai hakikat. Nah, sebagai konsekuensi keyakinan seperti ini, terkadang-dalam segala kesetiaannya kepada syariat- kaum sufi memiliki pendapat yang berbeda mengenai fiqh dengan pendapat para ulama fikih itu sendiri.
Untuk membuktikan ketidak-islaman tasawuf, biasanya orang menggunakan dua cara. Pertama, istilah atau ilmu yang bernama tasawuf itu tak terdapat, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Kedua, banyak diantara kepercayaan tasawuf bisa ditunjukkan sebagai berasal, atau setidak-tidaknya sama, dengan sumber-sumber lain di luar islam-baik sumber Yunani, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Persia.
Menanggapi pandangan-pandangan seperti itu, para pendukung tasawuf biasanya mulai dengan menyatakan bahwa penamaan tasawuf hanyalah sekadar suatu cara untuk menampilkan ciri-ciri khas kelompok ini. Persis seperti Rasul dan para sahabatnya dulu menjuluki Bilal si orang Etiopia dengan Al-Habsyi, atau Shahiba atau Suhail Al-Rumi (orang Romawi), atau Salman Al-Farisi (orang Persia). Bahkan Al-quran tak cukup menyebut orang-orang Mukmin yang baik-baik dengan hanya menyebut mereka sebagai Mukmin, melainkan terkadang menyebut sebagian di antara mereka al-ta’ibin, atau sebagian yang lain al-mutashaddiqin, al-abidin, al-hamidin, al-shalihin, dan banyak lagi lainnya. Lagi pula, kenapa kenapa hanya penamaan Shufi saja yang diperdebatkan padahal dalam sejarah kaum Muslim, umat ini di kelompokkan di bawah nama-nama Mu’tazili, Asy’ari, Maturudi, Salafi, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan tak terhitung nama-nama lainnya. Selanjutnya, jika asal kata tasawuf itu dipersoalkan karena tidak terdapat di dalam Al-Quran, maka kita dapati banyak sekali ilmu yang tidak disebut di dalam Al-Quran tapi tak pernah dianggap sebagai bid’ah. Tentu saja kita harus memulai dari fiqh karena, meskipun kata ini dipakai di dalam Al-Quran, ia tak pernah dipakai untuk menunjuk tentang ilmu hukum-hukum ibadah seperti yang kita kenal sekarang ini. Lalu ada ushul al-din, musthalah al-hadits, ilmu tafsir, ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu al- kalam, dan sebagainya. Apalagi jika argumentasi ini kita perluas hingga ke ilmu-ilmu non-agama yang, dalam sejarah islam awal diterima luas oleh kaum Muslim, seperti ilmu falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya. Argumentasi seperti ini sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu ilmu bisa saja berkembang melewati apa yang secara eksplisit terkandung dalam Al-Quran an Al-Sunnah, tanpa harus dianggap sebagai bid’ah atau malah sesat.
Untuk menjawab keberatan orang mengenai asal-usul tasawuf, para pendukungnya cukup sigap untuk menunjukkan sumber-sumber Qurani pahamini. Tapi, sebelum itu kiranya mudah dipahami bahwa adanya kesamaan antara ajaran-ajaran tasawuf tertentu dengan ajaran agama Kristen, Hindu, Buddha, bahkan pemikiram Yunani sama sekali tak otomatis berarti bahwa ajaran-ajaran tasawuf itu sesat. Karena, jika argumentasi seperti ini dibenarkan, maka hukum fiqih tertentu yang ternyata sama dengan hukum Kristen haruslah dianggap sesat pula. Padahal kenyataan seperti ini amat banyak terjadi. Demikian pula dengan kesamaan-kesamaan pandangan dalam ilmu Kalam dengan teologi Kristen. Dan seterusnya. Lagipula, bukan hanya penganut pandangan tasawuf yang berpendapat bahwa sesungguhnya hikmah itu tercecer di mana-mana. Bukankah Rasulullah sendiri bersabda bahwa “Hikmah adalah barang kaum Mukmin yang hilang” dan bahwa kita diperintahkan untuk memungutnyadi manapun ia kita ketemukan? Belum lagi jika kita memercayai bahwa, sampai batas tertentu, ajaran-ajaran agama itu bahkan mungkinjuga pemikiran Yunani tertentu adalah perintah peninggalan para Nabi dan Rasul yang diturunkan Allah kepada berbagai bangsa. Apalagi agama Kristen, yang jelas-jelas pada awalnya adalah memang merupakan wahyu Allah, sebagaimana juga agama Yahudi dan agama-agama samawi lainnya.
Ada lagi yang bersikap anti tasawuf karena dalam tasawuf terdapat paham-paham atau pandangan-pandangan yang dianggap sesat. Terhadap keberatan seperti ini, pendukung tasawuf akan balik bertanya: apakah kita harus membuang hadis hanya karena di dalamnya menyusup hadis-hadis palsu, atau mencampakkan ilmu tafsir karena di dalam sebagiannya terkandung issra’iliyyat, atau ilmu fiqih karena adanya upaya manipulatif dalam bentuk perumusan berbagai hilah yang sering kali mengada-ada, tidak bertanggung jawab, bahkan melecehkan syariat itu sendiri? Bahkan pun jika para pendukung tasawuf sepakat mengenai kesesatan-kesesatan yang ada dalam sebagian paham atau pandangan dalam tasawuf, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan tasawuf- persis seperti yang kita lakukan terhadap ilmu-ilmu laind ari kesesatan-kesesatan, dan bukan mencampakkannya sama sekali.

Sumber : BUKU SAKU TASAWUF, karangan Haidar Bagir,2005

No comments:

Post a Comment