Ngopi Neng Warung

Warung, kunci sukses dan bahagia

“Apa gak salah judul itu ? Bukannya malah boros dan gak ada gunanya pergi ke warung ?” Aku gak mau membantah. Aku gak mau menjawab pertanyaan ini.

Warung memang banyak jenisnya, ada warung kopi, warung nasi, warung makan, warung ayam, warung sate, warung kaki lima, warung tempat praktek (pasien), warung besar / restoran atau waralaba. Tapi yang saya maksud adalah benar-benar warung asli jowo. Cirinya warungnya kecil, biasanya pinggir jalan (ya jelas,,,, kalau ditengah jalan pasti kamu tabrak ), sudah kuno / kurang terawat bangunannya, lantai bukan keramik, tidak ada plafon. Itu baru dari segi bangunan. (rumit amat !)
Meja kursi biasanya dari kayu dan gak pernah di lap. Lantai gak pernah disapu. (bukannya tidak pernah sama sekali, Cuma kelihatannya saja dan menurut pengamatanku).
Dari segi menunya gak rumit lho, Cuma kopi, teh, es teh, Eks....J..., Hema.... Jre...,( biar gak promosi) atau jahe, susu kalau ada. (juga bukan susu asli). Ada gorengan, gedang goreng, telo goreng, tempe goreng, tahu goreng. Ditambah nasi bungkus ringan (sego kucing, nasi hiks) atau nasi dengan menu pecel, sayur daun ketela, soto, atau mie rebus. Tidak pula sambel pedas dan krupuk. O.... ya.... gak pernah lupa tu rokok, terutama eceran. (yang ini menu wajib).
Kadang ada pesawat TV yang udah gak jelas gambarnya. (yang pasti gak ada pesawat telpon). Ada juga radio, permainan catur, kartu, karambol. Jangan harap ada karaoke.
Biasanya warung buka dari pagi sampai subuh (24 jam). Kalau di Ponorogo, gak sulit cari warung ini. Coba cari warung mbah doel di kidul lampu merah prapatan UNMUH / STAIN Ponorogo. Atau lor pasar legi, kiri jalan sebelum Apotek Puspa, depan RSU Darmayu, atau cari di gang-gang sempit di jalan kota Ponorogo. Gak akan sulit. Cuma, aku gak jamin mereka semua buka 24 jam, tergantung yang punya. Ada juga yang shift pagi saja atau malam saja. (mungkin ada yang kebelet butuh uang ada yang malas-malasan karena udah cukup bahagia).
Kalau di Pacitan, agak susah juga. Disini gak pantes pagi-pagi nongkrong di warung. Dikira gak diopeni bojone. Apalagi siang hari ke warung, bisa dikejar satpol PP karena melanggar jam dinas. Atau kalau malam hari, bakule wis ngantuk. (capek deh ..!) satu-satunya sering sering saya apeli, ya warung di depan Dinkes Utara. Itu karena lokasi strategis, agak tersembunyi, tenang, jauh dari Satpol PP, bisa nyambi ke bengkel atau setor laporan obat.
Harga dari menu makanan maupun minuman harusnya gak melebihi ¼ dolar. Jadi kadang bawa ceban (seribu), gopek (lima ratus) atau lima ribu udah kenyang. Bahkan gak bawa uang pun OK. (kalau gak malu). Kita bisa hutang tanpa jaminan dan prosedur yang rumit. Kalau kita bisa hutang, menurutku itu pertanda kita orang baik. Karena bisa dipercaya penjual warung.
Yang sudi datang ke warung bisa di survey, mayoritas anak sekolah, bapak-bapak tua, anak muda, pengangguran. Kalau di Ponorogo, semua kalangan pernah aku temui, dari PNS, pelajar, anak kuliah, anak kost, pengangguran, pengamen, tukang las, wiraswasta, bos, karyawan, kuli, orang kaya, orang setengah kaya, setengah miskin, pejabat atas maupun pejabat rendah. Jadi multi ras dan multi etnis. Asyik pokoke.
Ciri khas lain, biasanya bakule wis tuwek / tua, baik mbah kakung maupun putri. Jarang (bahkan belum aku jumpai) penjualnya cewek muda, manis, rambut panjang dan putih seperti Lu.... Ma.... Sorry, saya lupa. Pernah beberapa kali diajak temen di Ponorogo, tapi menurutku itu warung belum memenuhi syarat. Karena menunya cemoe dan bukanya malam hari saja. Lokasinya juga aneh gitu. Aku curiga..........(nanti ada yang penasaran)
Jadi kalau kita datang ke warung itu, yang menjadi prioritas kita adalah budaya dan alam ghoibnya. Kalau dari segi menu dan penjualnya, apalagi tempatnya, setan pun ogah mampir. ( sory mbah,,,, nggak ada maksud menghina. Cuma pembaca biar mantap). Kemanapun saya pergi ke suatu kota, pasti mencari tempat yang ideal seperti itu. Kecuali sama rombongan ibu-ibu pengajian atau rombongan kerja. Gak mungkin lah mengajak mereka mampir. Pasti ngajak ke Caref..... Atau plasa lain.
Mungkin sudah garis keturunan warok ponorogo atau salah asuhan, saya sejak muda dan menjelang tua selalu punya kontak dengan warung. Penggemar / teman saya pun biasanya ”kedanan” warung. Masak, sewaktu kerja di Ponorogo, baru bangun pagi sudah diajak ngopi diwarung. Habis itu ketemu teman lain menjelang kerja jam 7.00 wib, juga diajak mampir warung dulu. Sekitar jam 10.00 wib, ada musuh lama ngajak ke warung sebelah. Kalau nolak, mereka bilang aku sombong. (padahal tujuan ngajak, kadang-kadang mereka maunya ditraktir). Selepas jam 2.00 sambil nunggu pulang, di’paksa’ kewarung. Anehnya, malam hari, ada yang nelpon mau membicarakan ’bisnis” di warung. Itu masih jadwal yang resmi, belum kalau ada tamu dari ’luar negeri’ pasti mampir warung. Kecuali temenku yang tidak sealiran, tentu aku ajak ke rumah makan lain.
Setelah hijrah ke Pacitan, budaya itu mulai pupus. Bukan karena apa-apa. Ya karena gak ada warung yang cocok dan gak ada teman saja. Tapi hasrat tetap tinggi. Apalagi saya masih sering ke Ponorogo. Tiap hari temenku tanya kapan ke Ponorogo dan disuruh mampir. Aku jamin, pasti ujung-ujungnya ngajak ke warung. Karena sibuk dan waktu terbatas, kalau di Ponorogo aku njujug warung sendiri. Soalnya, kalau sama temenku bisa 4 jam gak keluar dari warung. Kalau sendiri paling lama setengah jam. (sorry bos.... gak ada maksud meninggalkanmu, Cuma suasana gak kondusif).
Hasrat itu mulai tersalurkan setelah mengenal warung Dinkes Utara ditambah angkringan (hiks) bocah klaten mulai banyak di Pacitan. Tapi kalau diwarung Dinkes Utara gak ada Dian dan Endro, rasa kopinya menjadi lain. Ada sedikit pahit dan getir. Ternyata mbahe bos warung itu pernah jadi tetanggaku. Maksudku pernah tinggal di dekat rumahku sewaktu aku masih di Ponorogo. Meskipun gak sempurna, warung itu lumayan untuk mengobati buntunya jalan pikiranku.
Dari pengamatanku selama menjelajahi dunia warung, orang datang ke warung kadang Cuma beli kopi cangkir kecil seharga 500 perak, satu batang rokok 500 rupiah, 1 gorengan 500 dolar jawa. Tapi, berjam-jam dia nongkrong disitu. Sampai-sampai, parkiran di depan warung penuh sesak. Memang sih kebanyakan yang ke warung itu berkelompok. Jarang sendirian (kecuali aku). Sambil ngobrol ngetan ngidul ngalor ngulon, atau main catur dulu.
Ternyata dari warung itu muncul ide-ide brilian. Banyak kasus yang saya tangani (koyok pengacara hotm... Pari.... saja), saya menemukan jalan keluar, mendapat wahyu, mendapat bisikan sewaktu di warung. Kebanyakan memang suasana warung tenang, aman dan gak masalah jika kita berjam-jam disitu. Gak akan diusir. Coba kita nongkrong Cuma beli es teh di restoran selama berjam-jam. Pasti langsung diusir. Bahkan kalau mau ngrewangi bakule isah-isah, kita gak perlu bayar.
Selain itu, jika kita punya musuh dan diajak ke warung, lama-lama permusuhan itu menjadi kendur dan musuh kita yang bayarin. Atau kalau kita kesepian, bakule akan rela menemani ngobrol. Atau kita menjumpai teman lama kita dari warung itu. Jadi setelah keluar warung, kita seperti keluar dari kamar mandi. Segar dan semangat baru. Jarang orang keluar warung kelihatan murung dan sedih. Biasanya dengan gagah berani, tertawa, membusungkan dada sambil menghisap rokok. (saya tidak merokok, tapi tidak pro perokok. Alias golput. Karena menamam tembakau adalah pekerjaan saya dulu. Hasilnya menguntungkan)
Pergi ke warung kita juga menggerakkan perekonomian negara. Mendukung sektor UMKM, membantu rakyat ’kecil” yang ditindas. Logikanya, kita membeli dagangan mereka, mereka untung, keluarga bisa sekolah dan jadi PNS. Coba gak ada yang mau ke warung, mereka mau disuruh kerja apa. Gak mungkin mengangkat mereka jadi honorer lagi.
Diwarung kita bisa membicarakan bisnis, usaha, pekerjaan, jodoh dan persoalan hidup lainnya. Negosiasi utang juga bisa di warung. Jual beli motor juga bisa dari warung. Mencari kerja juga bisa dari warung. Mengisi waktu libur juga bisa di warung. Pokoke bisa mendukung kesuksesan kita.
Kalau suntuk dan dirundung masalah, jangan takut ke warung. Datang saja, baik sendirian atau dengan teman. Disana akan ditemani banyak orang. Kalau malu curhat, gak usah disampaikan masalahmu. Cukup mendengarkan orang bicara, menikmati kopi, senyum sendiri dan mengamati keadaan. Bersyukurlah kita masih hidup dan ada teman hidup. Lihatlah sekitarnya yang bahagia tanpa syarat apapun. Setelah beberapa jam, keluarlah. Niscaya kamu bahagia.
Semoga pemerintah memperhatikan warung ini, memberi kredit tanpa bunga sehingga saya bisa bon tanpa bunga. Selain itu jangan sampai warung ini kena pajak seperti Pajak Warteg di Jakarta. Mengapa ? karena kalau kena pajak 10%, maka terjadi kenaikan harga. Imbasnya jumlah pembeli akan turun (karena mikir) dan saya juga mengurangi jatah ke warung.
Selain itu, harusnya pemilik warung ini diberi asuransi kesehatan supaya tetap sehat dan kuat bekerja. Kalau mereka sakit-sakitan, tentu menularkan ke pengunjung. Ya... to...!... (nalarmu apik le...). Terakhir, jangan digusur. Kebahagiaan dan kedamaian tidak mesti tinggal di gedung mewah, bagus, rapi, bersih. Kita bisa bahagia karena terpaksa dan gak berkhayal aneh-aneh.

No comments:

Post a Comment