Ngopi Neng Warung

CATATAN SEORANG PNS


Salam kenal. Nama saya Andri, Andri Saleh lengkapnya. Sekarang saya berusia 31 tahun, punya seorang istri dan dua orang anak. Saya bekerja sebagai seorang PNS di salah satu instansi vertikal dan ditempatkan di ujung selatan provinsi Sumatera Utara.
Hmmm, PNS. Sebuah profesi yang sangat saya benci. Sungguh! Dari jaman sekolah sampai kuliahan, saya benci dengan profesi itu. Pasalnya, setiap kali lihat berita di TV atau di media cetak, citra PNS selalu negatif. Entah itu menghabiskan anggaran negara, korupsi, jarang masuk kantor, atau datang terlambat pulang cepat, perselingkuhan, dan lain-lain.
Well, ternyata saya harus menjilat ludah saya sendiri. Awalnya dari ketidaksengajaan, lebih tepatnya faktor eksternal: dorongan calon mertua dan dukungan orang tua. Mau tidak mau – itu pun dengan rasa malas – mengirim lamaran ke salah satu instansi vertikal di Indonesia. Maksudnya supaya hati calon mertua dan orang tua senang. Itu saja. Eh, tidak disangka ternyata saya lulus tes.
Sungguh, saya punya rencana untuk menggagalkan tes wawancara. Atau kalaupun lulus, saya mau mundur saja. Biarlah kena denda 5 juta, yang penting jangan jadi PNS. Lebih baik tetap di profesi sebelumnya, guru sekaligus penulis. Itu pikiranku saat itu.
Tapi, beberapa detik sebelum tes wawancara semuanya berubah 180 derajat. Sekilas terpikir kenapa harus menggagalkan amanah yang diberikan Tuhan? Mungkin saja Dia menitipkan amanah ini supaya saya bisa membawa perubahan, setidaknya di lingkungan kantor.
Di sinilah timbul dilema, dilema besar tepatnya. Di satu sisi saya sangat benci bekerja sebagai PNS, di sisi lain saya punya niat untuk membawa perubahan. Akhirnya, saya menjalani tes wawancara dengan kemampuan terbaik yang saya punya. Saya lulus dan ditempatkan di pulau seberang, Sumatera.
Ketika orang lain menggelar syukuran karena lulus PNS, saya justru sebaliknya. Tidak ada acara syukuran, acara makan-makan, atau yang lainnya. Dalam hati mulai bimbang dan tidak tenang, apakah saya sanggup membawa perubahan atau justru terbawa arus dalam kegelapan?
Sudah hampir 3 tahun saya menjadi PNS. Waktu yang terlalu singkat untuk menceritakan jutaan pengalaman. Hmmm, ternyata benar, kawan. Apa yang diberitakan di TV atau media cetak ternyata memang benar adanya. Dunia PNS memang banyak godaan dan permainan. Banyak uang-uang panas dan orang-orangnya terbawa hanyut dalam arus materialisme. Tidak semua memang, tapi sebagian besar. Mengerikan sekali.
Semua yang diributkan hanyalah masalah uang, uang, dan uang. Jika diberi honor/upah mereka menuntut lebih, sebaliknya jika memberi honor/upah mereka mengurangi. Hancurlah sudah. Saya yang terbilang “anak kemarin sore” hanya bisa diam. Duduk berlutut di bawah monster-monster yang saling bersikut untuk mendapatkan kesenangan duniawi yang bernama uang.
Benarlah kata widyaiswara (instruktur) ketika Diklat Pra Jabatan dua tahun yang lalu. Dia bilang, seorang PNS yang baik itu seperti batang bambu. Batang bambu yang melengkung akan dibiarkan, sedangkan batang bambu yang lurus pasti bakal ditebas. Inilah yang saya alami sekarang. Dikucilkan, dimusuhi, dan diasingkan. Tidak semuanya, tapi beberapa pegawai sangat tidak suka jika saya harus jujur dalam perkataan dan perbuatan. Misalnya, membayarkan honor-honor sesuai SPJ, tidak memberi “uang terima kasih” kepada pihak-pihak tertentu, dan sebagainya.
Selama hampir 3 tahun inilah saya berkesimpulan, semuanya berawal dari sistem yang bobrok. Sistem yang diwariskan oleh kompeni alias penjajah Belanda memang sulit dihapuskan. Kebiasaan seperti membayar upeti untuk para atasan, sogokan, dan gaya hidup mewah sudah mendarah daging. Dianggap aneh jika tidak melakukan kebiasaan itu.
Dengarlah kawan, tidak hanya itu. Masih banyak bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan oleh oknum-oknum PNS. Sekali lagi, tidak semua tapi sebagian besar. Lagi-lagi saya hanya bisa terdiam. Belum bisa melawan karena belum punya kekuatan.



Curang. Itu yang saya teriakkan dalam hati. Ingin melawan, tapi rasanya belum bisa. Diam saja, tapi hati ini ingin berontak. Serba salah. Dengarlah kawan, mau tahu apa saja bentuk-bentuk kecurangan oknum PNS? Ini adalah beberapa di antaranya. Memalukan tapi itulah kenyataannya.
Absensi Pegawai
Ini yang paling sering dilakukan oleh oknum PNS. Masuk kantor dan pulang kantor seenaknya saja, seakan-akan itu kantor punya nenek moyangnya sendiri. Masuk jam 09.00 pagi atau lebih, padahal jadwal resminya jam 07.30 pagi. Pulangnya? Jam 12.00 siang pun bisa. Alasannya klise, beli makan siang atau istirahat. Setelah itu, hilang ditelan bumi.
Baru-baru ini kami menggunakan mesin absensi sidik jari. Itu pun instruksi dari pusat. Katanya sih, dalam rangka reformasi birokrasi. Ternyata, oknum-oknum PNS ini lebih cerdik. Mereka memang datang pagi-pagi, tapi itu hanya absen sidik jari saja. Setelah itu, entah keluyuran kemana. Mereka kembali lagi ke kantor sekitar jam 15.00 untuk absen sidik jari kedua kalinya.
Pembayaran Honor/Upah
Nah, ini yang paling memuakkan. Hasil warisan penjajah Belanda yang membiasakan membayar upeti kepada atasan atau orang-orang yang dianggap “berjasa”. Misalnya, honor petugas lapangan sesuai SPJ adalah Rp500.000,00. Nah, karena oknum PNS ini merasa berjasa mencairkan honor, maka si oknum itu minta bagian Rp100.000,00 dari tiap petugas. Itu baru 1 petugas, bagaimana jika ada 200 petugas? Silahkan hitung sendiri!
Yang lebih parah, ada juga oknum PNS yang sama sekali tidak membayarkan honor petugas. Si oknum memberikan laporan ke kantor jika honor sudah dibayarkan, padahal masuk ke kantong sendiri.
Diklat dan Pelatihan
Setiap pelaksanaan diklat atau pelatihan biasanya setiap peserta akan diminta kwitansi biaya perjalanan. Hal ini dimaksudkan untuk pembayaran biaya transportasi, selain dari uang saku dan uang makan. Hmmm, di sinilah para oknum mulai bermain. Mereka menaikkan biaya transportasi beberapa persen, bahkan ada yang beberapa kali lipat. Misalnya, ongkos yang biasanya Rp100.00,00 diganti jadi Rp250.000,00. Itu baru satu arah saja, belum PP.
Selain itu, biasanya waktu pelaksanaaan diklat/pelatihan pun dikorupsi. Jadwal pelatihan 3 hari bisa dipadatkan menjadi 2 atau 1 hari, dengan uang saku dan uang makan yang tetap. Sungguh, benar-benar curang!
Biaya Fiktif
Terkadang, ada masyarakat umum yang berurusan dengan instansi pemerintah, mulai dari mahasiswa, LSM, perusahaan, dan yang lainnya. Mereka biasanya meminta data atau kepentingan lainnya.
Masalahnya, ada oknum-oknum PNS yang melihat ini sebagai peluang bisnis. Mereka membuat biaya fiktif terhadap sesuatu yang seharusnya gratis. Segala sesuatu yang diperuntukkan untuk masyarakat umum kan sudah ada anggarannya.

Beberapa minggu yang lalu, saya diberi amanah berupa kendaraan dinas. Sebuah sepeda motor HONDA NEW MEGAPRO STD. Jujur saja, motor dinas itu terlalu mewah buat saya. Apalagi saya kan staf kantor, bukan petugas lapangan. Selain itu, motor itu hanya dipakai dari rumah ke kantor, dari kantor ke rumah. Titik. Jaraknya pun hanya 9 kilometer atau sekitar 10 menit perjalanan. Sebenarnya masih bisa pake angkot, becak motor, atau sepeda motor yang sudah usang.
Saya sudah sekuat tenaga untuk menolak dan memilih untuk menggunakan motor dinas yang usang saja seperti HONDA WIN 100 atau HONDA GL PRO. Tapi permintaan ini ditolak mentah-mentah, alasannya sepeda motor itu sudah dianggarkan dan sudah ditetapkan untuk staf kantor.
Akhirnya, dengan berat hati saya harus mengendarai sepeda motor mewah itu hanya untuk perjalanan sejauh 9 kilometer. Sungguh tidak nyaman dan memalukan. Di saat orang lain bersusah payah mencari sesuap nasi dengan berjalan kaki, saya justru dengan enaknya mengendarai sepeda motor mewah. Di saat saya mencela DPR yang menganggarkan uang milyaran rupiah untuk renovasi toilet, saya sendiri justru berbuat hal yang sama dengan mereka.
Terus, beberapa bulan yang lalu di instansi kami diadakan pengadaan laptop untuk tiap pegawai. Laptop yang cukup canggih karena harganya mencapai Rp10 juta per unit. Sebuah harga yang fantastis, bukan? Tujuan awalnya, laptop itu digunakan untuk mendukung kinerja pegawai. Tapi setelah lama-kelamaan diperhatikan, laptop itu kebanyakan (tidak semua) digunakan untuk download lagu atau video, facebook-an, game Zuma, dan hal lain yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan.
Ada lagi, pas awal tahun baru kemarin dibagikan kalender 2012 beserta buku agenda tahun 2012. Kalendernya 2 macam, yaitu kalender dinding dan kalender meja. Bagus dan pasti mahal harganya. Saya sendiri menolak buku agenda karena masih ada buku agenda tahun kemarin, masih banyak halaman kosongnya. Untuk kalender, saya hanya mengambil kalender dinding saja.
Saya hanya berpikir, apakah anggaran untuk fasilitas kantor itu tidak bisa dipangkas? Bukankah fasilitas kantor seperti sepeda motor dinas, laptop, dan kalender bisa dicari yang harganya lebih murah? Maksudnya, murah tapi tidak murahan, yang penting sesuai dengan kebutuhan. Sungguh ironi jika uang rakyat digunakan untuk sesuatu yang “mewah” sedangkan rakyat itu sendiri kondisinya memprihatinkan.

No comments:

Post a Comment