MERUMUSKAN HUBUNGAN IDEOLOGI NASIONAL DAN AGAMA
Oleh: KH Abdurrahman Wahid
1
Majalah Aula
Tulisan di atas bersumber dari Majalah Aula, No. 5 Tahun VII, Mei 1985. Berawal dari sebuah ceramah yang ditranskrip-die
Untuk melacak ceramah-ceramah Gus Dur, salah satunya dapat ditelusuri melalui dua penerbitan publikasi ini, Aula dan Warta, meskipun tentu tidak secara keseluruhan. Sementrara publikasi di media-media lain, seringkali memang berasal langsung dari tulisan-tulisan Gus Dur. Saya sendiri menyimpan Tabloid Warta yang mengoleksi ceramah-ceramah Gus Dur dan kemudia ditranskrip; disamping bundel Majalah Aula, meskipun tidak semua edisi.
Majalah Aula dikelola oleh PWNU Jawa Timur dengan SK PWNU Jatim No. 183/PW/Kpts./
Tabloid Warta kemudian tidak terbit lagi, sedangkan Majalah Aula sampai sekarang masih terus terbit, dan menjadi salah satu dari alat publikasi yang dimiliki Jam`iyah NU.
Saya sengaja memilih tulisan di atas, dan memberikan penjelasan-penj elasannya, yang dalam tradisi kitab kuning disebut sebagai syarah, untuk dapat diambil faedah, dalam rangka mengenang Gus Dur; di samping saya masih terus merapikan dalam tulisan lain, tentang mereka yang mengalami ro’yu fil manâm dengan Gus Dur, yang sebagian sudah saya tulis.
Sebab, menurut saya, tulisan yang dimuat di Majalah Aula ini dapat menjembatani mereka yang anti Negara nasional dari kalangan muslim; dan pada saat yang sama dapat juga mengkritik mereka yang terlalu menekankan hanya dengan merujuk pada ilmu-ilmu sosial, ketika membicarakan Gus Dur.
Dengan berharap ridho Alloh dan memohon bantuan-Nya untuk memperoleh kemudahan dalam berbagai kesulitan yang ada, dan sholawat-salam kepada Kanjeng Nabi Muhammad, serta mengharap barokah dari para wali-wali Alloh, semoga penjelasan atas tulisan Gus Dur yang dimuat di Majalah Aula ini dapat memberikan manfaat bagi diri saya sendiri, dan untuk orang lain yang membacanya. Wallôhul Musta`ân.
2
Islam dan Watak Eklektiknya
Gus Dur memulai tulisannya, begini: “Di dalam kesejarahan umat Islam, ada suatu tradisi yang perlu kita warisi dan terus kita kembangkan. Tradisi ini telah berkembang berabad-abad lamanya, yaitu: watak penyerapannya yang tinggi atau yang sering disebut orang sebagai ekletik.”
Penjelasan
Kata “eklektik”, dalam KBBI diartikan sebagai “bersifat memilih yang terbaik dari berbagai sumber (tentang orang, gaya, dan metode). Gus Dur memaknai ekletik sebagai watak tradisi umat Islam dengan “watak penyerapannya yang tinggi”. Maksudnya, penyerapan kaum muslimin terhadapat situasi, kondisi dan perkembangan kemajuan sejarah, tanpa kehilangan jatidiri sebagai umat Islam, sangat kuat dan tidak boleh diremehkan, untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan tradisi dan kemajuan.
“Kemampuan menyerap” itu akhirnya mempengaruhi terhadap ekspresi dan corak umat Islam itu sendiri, yang hal ini akan menghasilkan tradisi-tradisi
Kata “eklektik” itu, dalam bagian tulisan lain, disebut dengan “kosmopolitan”,
Jadi, watak ekletik itu, oleh Gus Dur disamakan dengan kosmopolitan. Sementara arti kata “kosmopolitan” itu sendiri menurut KBBI adalah “mempunyai wawasan dan pengetahuan yang luas”; terjadi dari orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari berbagai bagian dunia.” Hal ini, menegaskan kaitannya dengan Islam, perlunya memiliki wawasan yang luas dalam membicarakan dan memperjuangkan Islam, agar tidak menimbulkan penyempitan dan pendangkalan, yang menyebabkan timbulnya sunami penyumbatan keselarasan sosial dan gerak perkembangan-pe
Dalam tulisan lain, yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: WI, 2007), Gus Dur memberikan penjelasan lebih rinci apa yang dimaksud dengan kosmopolitan Islam itu, dengan meletakkan watak dinamis sebagai ruh dari kosmopolitan itu. Gus Dur mengatakan, dalam hukum Islam misalnya, harus mampu mengembangkan watak dinamis bagi dirinya, di antaranya harus mampu menjadikan dirinya bisa menunjang perkembangan hukum nasional. Watak dinamis ini hanya dapat dimiliki, jika hukum Islam meletakkan titik berat perhatiannya pada soal-soal duniawi yang menggeluti kehidupan bangsa kita dewasa ini, dan memberikan pemecahan bagi persoalan-perso
Dengan sendirinya, watak eklektik atau kosmopolitan dari Islam dan umat Islam itu sendiri, mengandung di dalam dirinya adalah dinamis, dan geraknya sebagai dinamisasi yang terus menerus di tengah sistem sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, kita dapat menemukan dari berbagai tulisan Gus Dur, istilah dinamisasi ini, dan bukan tajdid.
Dalam tulisan “Universalisme Islam dan Kosmopolitanism
Kosmopolitan Islam itu, akan terjadi dan berjalan bila terjadi keseimbangan antara dua hal yang saling mempengaruhi kesuksesan sebuah peradaban masyarakat, yaitu kecenderungan normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir di antara warga masyarakat. Dan inilah, yang menandakan adanya kosmopolitanism
Perkataan Gus Dur “berabad-abad lamanya”, bisa dimaknai sejak zaman Nabi Muhammad sendiri sampai dalam masa selanjutnya. Dari sudut watak Islam pada zaman Nabi Muhammad, watak ekletik itu, terlihat ketika Islam tidak mengembangkan satu jenis agama sendiri yang terpisah dari agama-agama yang mendahuluinya. Oleh karena itu, Islam menyempurnakan dari apa yang telah ada dari agama-agama yang ada sebelumnya, yang kemudian disebut dengan istilah “wamâ arsalnâka illâ rohmatan lil`âlamîn”, yang sering kali diulang-ulang oleh Gus Dur sebagai Islam yang harus diperjuangkan secara gigih, tanpa harus kehilangan kesabaran dan kesantunan akhlak.
Tradisi-tradisi
Islam yang berwatak eklektik itu, pada dasarnya adalah Islam yang memperjuangkan Islam rohmatan lil`âlamîn: membawa implikasi pada perlunya strategi dinamisasi, bukan revolusi; atau strategi gradual; bukan shock terapy, dan keharusan memberikan tempat bagi pendekatan yang meluas, menyentuh juga kepada jiwa, bukan hanya kepada aspek lahir.
Oleh karena itu, meskipun Gus Dur belajar Marxisme, Kapitalisme, Teologi Pembebasan, pandangan-panda ngan Gandhi, dan lain-lain, toh akhirnya bermuara pada pembicaraan dan perjuangan mewujudkan kemaslahatan Negara Pancasila (dan bukan mendirikan Negara Marxis atau Negara kapitalis), dan pandangan hidup Aswaja an-Nahdliyyah, sebagai dasarnya. Sementara pengungkapan dalam wilayah publik dan kerangka teori bungkusnya, bisa bermacam-macam tergantung situasi, audiens, dan gerak zaman; dan pada saat yang sama tetap setia menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama.
Kemampuan Gus Dur menyerap dari berbagai ilmu sosial, pada saat yang sama tetap menjadi ketua PBNU, dan mujahid yang berperan sebagai juru bicara Islam yang dinamis, mengedepankan tasamuh dan tawasuth, sepenuhnya, adalah upaya menerjemahkan dalam dirinya dan untuk umat, watak Islam yang ekletik ini.
Oleh karena itu, Gus Dur lebih senang mengembangkan pandangan-penda
Dan, inilah yang membedakan Gus Dur, dengan rekan-rekan sezamannya yang menginginkan adanya tajdid, madzhab baru, shock teraphy, meninggalkan tradisi, dan tidak menginginkan adanya strategi gradual. Wallohu a’lam.
(Nur Kholik Ridwan)
No comments:
Post a Comment