Dalam sejarahnya, tasawuf tak pernah lepas dari hujatan orang. Menurut mereka, tasawuf adalah bid’ah,
mengada-adakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada dala agama. Bahkan,
tasawuf adalah suatu aliran yang sesat dan menyesatkan, baik karena
kejahilan, motif menutupi ketidaksetiaan mereka kepada syariat, maupun
malah untuk menghancurkan agama sendiri dari dalam. Apa yang menyebabkan
sikap-sikap bermusuhan seperti ini terhadap tasawuf? Yang pertama adalah keyakinan tasawuf bahwa selain syariat, ada thariqah dan hakikat. Keyakinan inilah yang menyebabkan penolakansecara total terhadap tasawuf. Sedang yang kedua adalah adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu yang diungkapkan sebagian sufi, seperti hulul,ittihad,wahdah al-wujud, dan
sebagainya. Keberadaan-keberadaan kepercayaan yang heterodoks
(nyeleneh) dan rumit seperti ini menyebabkan para penentangnya hanya
mempersoalkan kepercayaan-kepercayaan ini tanpa mesti menolak
keseluruhan tasawuf-kecuali sekelompok orang yang memang cenderung
mengafir-ngafirkan kelompok lain yang bukan kelompoknya.
Mengenai
sebab yang pertama, kaum sufi memang percaya bahwa syariat-dalam makna
melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara lahiriah dengan
kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna agama itu
sendiri-tak akan mampu membawa seorang Muslim kepada tujuan puncak
keberagamaannya. Tujuan ini, menurut kaum sufi adalah hakikat (haqiqah), sesuatu yang besifat batiniah dan pada akhirnya berpuncak pada hilangnya ego (nafs) dalam Tuhan secara total,serta menyatunya (tauhid) manusia kembali (ma’ad) dengan Tuhan yang juga sumber- awal (mabda’)-Nya. Untuk mencapai tingkat ini orang harus menjalani thariqah, yakni maqamat dan ahwal yang merupakan esensi tasawuf itu sendiri. Seperti “syariat” juga, istilah thariqah bermakan “jalan”. Hanya saja, jika “syariat” berarti jalan raya, “thariqah” berarti jalan kecil atau sempit. (Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa menempuh thaiqah jauh lebih sulit ketimbang menempuh “syariat”). Nah, dalam konteks ini, syariat “hanyalah” kendaraan untuk thariqah, dan thariqah, pada
gilirannya, adalah kendaraan untuk mencapai hakikat. Nah, sebagai
konsekuensi keyakinan seperti ini, terkadang-dalam segala kesetiaannya
kepada syariat- kaum sufi memiliki pendapat yang berbeda mengenai fiqh dengan pendapat para ulama fikih itu sendiri.
Untuk membuktikan ketidak-islaman tasawuf, biasanya orang menggunakan dua cara. Pertama, istilah atau ilmu yang bernama tasawuf itu tak terdapat, baik dalam Al-Quran maupun Sunnah. Kedua,
banyak diantara kepercayaan tasawuf bisa ditunjukkan sebagai berasal,
atau setidak-tidaknya sama, dengan sumber-sumber lain di luar islam-baik
sumber Yunani, Kristen, Hindu, Buddha, maupun Persia.
Menanggapi
pandangan-pandangan seperti itu, para pendukung tasawuf biasanya mulai
dengan menyatakan bahwa penamaan tasawuf hanyalah sekadar suatu cara
untuk menampilkan ciri-ciri khas kelompok ini. Persis seperti Rasul dan
para sahabatnya dulu menjuluki Bilal si orang Etiopia dengan Al-Habsyi,
atau Shahiba atau Suhail Al-Rumi (orang Romawi), atau Salman Al-Farisi
(orang Persia). Bahkan Al-quran tak cukup menyebut orang-orang Mukmin
yang baik-baik dengan hanya menyebut mereka sebagai Mukmin, melainkan
terkadang menyebut sebagian di antara mereka al-ta’ibin, atau sebagian yang lain al-mutashaddiqin, al-abidin, al-hamidin, al-shalihin, dan banyak lagi lainnya. Lagi pula, kenapa kenapa hanya penamaan Shufi
saja yang diperdebatkan padahal dalam sejarah kaum Muslim, umat ini di
kelompokkan di bawah nama-nama Mu’tazili, Asy’ari, Maturudi, Salafi,
Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan tak terhitung nama-nama lainnya.
Selanjutnya, jika asal kata tasawuf itu dipersoalkan karena tidak
terdapat di dalam Al-Quran, maka kita dapati banyak sekali ilmu yang
tidak disebut di dalam Al-Quran tapi tak pernah dianggap sebagai bid’ah.
Tentu saja kita harus memulai dari fiqh karena, meskipun kata
ini dipakai di dalam Al-Quran, ia tak pernah dipakai untuk menunjuk
tentang ilmu hukum-hukum ibadah seperti yang kita kenal sekarang ini.
Lalu ada ushul al-din, musthalah al-hadits, ilmu tafsir, ilmu nahwu (tata bahasa), ilmu al- kalam, dan sebagainya. Apalagi
jika argumentasi ini kita perluas hingga ke ilmu-ilmu non-agama yang,
dalam sejarah islam awal diterima luas oleh kaum Muslim, seperti ilmu
falak, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan sebagainya. Argumentasi seperti
ini sekaligus menunjukkan bahwa sesuatu ilmu bisa saja berkembang
melewati apa yang secara eksplisit terkandung dalam Al-Quran an
Al-Sunnah, tanpa harus dianggap sebagai bid’ah atau malah sesat.
Untuk
menjawab keberatan orang mengenai asal-usul tasawuf, para pendukungnya
cukup sigap untuk menunjukkan sumber-sumber Qurani pahamini. Tapi,
sebelum itu kiranya mudah dipahami bahwa adanya kesamaan antara
ajaran-ajaran tasawuf tertentu dengan ajaran agama Kristen, Hindu,
Buddha, bahkan pemikiram Yunani sama sekali tak otomatis berarti bahwa
ajaran-ajaran tasawuf itu sesat. Karena, jika argumentasi seperti ini
dibenarkan, maka hukum fiqih tertentu yang ternyata sama dengan hukum
Kristen haruslah dianggap sesat pula. Padahal kenyataan seperti ini amat
banyak terjadi. Demikian pula dengan kesamaan-kesamaan pandangan dalam
ilmu Kalam dengan teologi Kristen. Dan seterusnya. Lagipula, bukan hanya
penganut pandangan tasawuf yang berpendapat bahwa sesungguhnya hikmah
itu tercecer di mana-mana. Bukankah Rasulullah sendiri bersabda bahwa “Hikmah adalah barang kaum Mukmin yang hilang”
dan bahwa kita diperintahkan untuk memungutnyadi manapun ia kita
ketemukan? Belum lagi jika kita memercayai bahwa, sampai batas tertentu,
ajaran-ajaran agama itu bahkan mungkinjuga pemikiran Yunani tertentu
adalah perintah peninggalan para Nabi dan Rasul yang diturunkan Allah
kepada berbagai bangsa. Apalagi agama Kristen, yang jelas-jelas pada
awalnya adalah memang merupakan wahyu Allah, sebagaimana juga agama
Yahudi dan agama-agama samawi lainnya.
Ada
lagi yang bersikap anti tasawuf karena dalam tasawuf terdapat
paham-paham atau pandangan-pandangan yang dianggap sesat. Terhadap
keberatan seperti ini, pendukung tasawuf akan balik bertanya: apakah
kita harus membuang hadis hanya karena di dalamnya menyusup hadis-hadis
palsu, atau mencampakkan ilmu tafsir karena di dalam sebagiannya
terkandung issra’iliyyat, atau ilmu fiqih karena adanya upaya manipulatif dalam bentuk perumusan berbagai hilah yang
sering kali mengada-ada, tidak bertanggung jawab, bahkan melecehkan
syariat itu sendiri? Bahkan pun jika para pendukung tasawuf sepakat
mengenai kesesatan-kesesatan yang ada dalam sebagian paham atau
pandangan dalam tasawuf, maka yang perlu dilakukan adalah membersihkan
tasawuf- persis seperti yang kita lakukan terhadap ilmu-ilmu laind ari
kesesatan-kesesatan, dan bukan mencampakkannya sama sekali.
Sumber : BUKU SAKU TASAWUF, karangan Haidar Bagir,2005
No comments:
Post a Comment