Catatan Dahlan Iskan yang Kembali Berlebaran di Makkah (1)
Telah lahir di Makah: foodcourt.
Maka, cara makan di sekitar Masjid Al Haram pun mulai berubah. Dari
cara lama berdiri bergerombol di depan warung-warung kecil atau makan di
lantai, menjadi makan di foodcourt.
Memang, makan cara lama belum hilang, tapi foodcourt-nya juga sudah
penuh. Inilah foodcourt pertama dalam skala besar di dekat Masjid Al
Haram. Lokasinya di lantai 3 dan 4 superblok baru yg sangat megah.
Superblok ini belum bernama karena memang belum sepenuhnya selesai.
Tapi, masyarakat menyebutnya gedung Zam-Zam karena salah satu di antara
tujuh hotel di superblok itu adalah hotel Zam-Zam.
Di antara tujuh hotel itu, lima sudah beroperasi, sedangkan yang dua
lagi masih diselesaikan. Ada juga yang menyebut superblok ini dengan
gedung Menara Jam. Ini karena di puncak superblok ini dibangun menara
jam yang besar dan menjulang tinggi. Inilah menara jam terbesar dan
tertinggi di dunia. Menara ini juga sangat cantik dan atraktif di waktu
malam. Warna layar digitalnya yang hijau dan permainan lampu kristal dan
lampu lasernya yang gemerlap membuat daya magnetnya sangat besar.
Ketika hari pertama Lebaran saya ke Padang Arafah sejauh 40 km dari
Makkah, saya kaget: menara ini bisa terlihat bahkan dari Arafah. Tentu
terlihat juga dari Muzdalifah, apalagi dari Mina. Padahal, Kota Makkah
yang berada di lembah itu di kelilingi gunung. Menara ini juga berfungsi
sebagai papan informasi.
Menjelang salat Isya 29 Agustus lalu, tiba-tiba di layar digital
hijau itu muncul tulisan Arab putih: Ied Mubarak, Kullu Aamin Waantum
bil Khair! Ini pertanda bahwa Lebaran telah tiba. Tidak perlu ada salat
Tarawih malam itu. Sekitar 2 juta umat yang sudah memadat di Masjid Al
Haram dan di seluruh halaman sekelilingnya langsung salat Isya saja.
Dari layar itu juga bisa dibaca bahwa menara ini persembahan dari Al
Malik Abdul Azis yg tidak lain adalah almarhum ayahanda Raja Fath.
Superblok ini memang menggunakan tanah kerajaan yang dibangun Bin Ladin,
konglomerat utama Arab Saudi, dengan sistem bot 25 tahun.
Kehadiran superblok Zam-Zam ini bagi saya yes and no. Yes karena
Makkah yang sudah dipenuhi gedung dan hotel-hotel bintang lima kini
bertambah-tambah kemegahannya. Juga berarti bertambahnya lebih 10.000
kamar baru berbintang lima di sekeliling Masjid Al Haram. Dengan adanya
foodcourt yang sangat luas di dua lantainya berarti soal makan kian
mudah.
Begitu luasnya foodcourt ini sampai-sampai dimanfaatkan pula untuk
lokasi rekresi: ada kereta-kereta gantung yang memutar ke seluruh
lokasi foodcourt sambil melihat hadirnya jenis makanan apa saja dari
seluruh dunia. Foodcourt ini, rasanya, didesain khusus agar
fungsional: tempat makan sekaligus tempat sembahyang. Karena itu,
lantainya dibuat luas dan meja-meja makannya ditata berjauhan.
Orang banyak menunggu datangnya saat berbuka puasa di meja-meja
makan, tapi langsung membuat barisan salat begitu saat Magrib tiba.
Pemandangan ini menjadi pilihan lain dari pemandangan lama yang masih
ada: menggelar plastik di halaman dan di dalam Masjid Al Haram untuk
makanan pembuka, lalu menggulungnya sebagai sampah saat waktu salat
tiba.
Superblok Zam-Zam ini no bagi saya karena terlalu besar, tinggi, dan
dominan. Superblok ini seperti menenggelamkan kemegahan Masjid Al Haram
yang anggun itu. Saat malam hari saya sembahyang di dekat Ka’bah,
superblok dengan permainan cahayanya itu terasa mendominasi sampai ke
dalam masjid. Menara-menara masjid yang dulu terasa cantik dan indah
seperti tidak ada artinya lagi.
Dulu saya suka memandang langit dari lokasi di sekitar Ka’bah ini.
Sekarang setiap kali ingin menatap keagungan langit, mata tertarik ke
puncak menara jam di atas superblok itu. Apalagi arsitektur bagian atas
keseluruhan superblok ini memang sangat modern dan indah. Kehadiran
superblok baru ini telah mengubah suasana di Masjid Al Haram.
Tidak sama dengan ketika hotel-hotel megah dulu mulai hadir di
sekeliling masjid. Superblok, foodcourt, mal, dan arena rekreasi di
dalamnya seperti tanda zaman baru Makkah.
Melengkapi zaman baru lainnya: handphone.
Merajalelanya handphone benar-benar mengubah Masjid Al Haram. Memang
tidak sampai ada dering telepon yang bersahutan, tapi tidak jarang orang
bertawaf (ritual mengelilingi Ka’bah tujuh putaran) sambil menerima
telepon. Orang juga saling mencari keluarga yang terpisah melalui
telepon. Dan ini yang berubah: saling memotret di dekat Ka’bah.
Dulu memotret dengan kamera dilarang keras. Memasuki pintu masjid
diperiksa ketat. Saya pernah memberikan pujian yang tinggi kepada
wartawan Jawa Pos Surya Aka yang kala itu berhasil menyelundupkan tustel
dan berhasil memotret orang yang lagi tawaf dengan sangat sempurnanya
tanpa ketahuan petugas. Kini petugasnya yang kuwalahan karena semua
orang punya kamera di handphone mereka.
Petugas kini hanya bisa pasrah. Tulisan dilarang memotret memang
masih ada, tapi orang saling berfoto di dekat Ka’bah tak tercegah.
Termasuk berfoto di depan petugas itu sendiri. Bahkan, ada yang minta
tolong petugas untuk memotretkannya!
Begitu banyak perubahan di Makkah, termasuk perubahan gaya hidupnya.
No comments:
Post a Comment